Kesedihan yang sempat membuat Celine mendapat pukulan keras berangsur berkurang dalam beberapa beberapa hari. Namun, mengembalikan keceriaannya seperti dulu tidak akan semudah membalik telapak tangan. Akhir-akhir ini, ia menjadi lebih pendiam dan seringkali melamun di kelas. Dia tidak mau bicara jika bukan Sharon yang memulai percakapan lebih dahulu.
Karena tidak ingin keadaan psikologis sahabatnya semakin parah, Sharon sendirilah meminta Celine agar tidak pernah ikut serta dalam diskusi mereka lagi. Awalnya, dia berencana membuat sedikit kebohongan dengan mengatakan Leon sudah menyerah. Namun, ia akhirnya sadar. Alih-alih membuat Celine semakin yakin, itu malah akan membuat dirinya kehilangan kepercayaan dalam waktu yang tidak sebentar.
"Celine, kau dengar aku?" Gadis bermanik biru itu hampir saja tersedak saat sedang menikmati sarapannya dengan sangat perlahan. Dia menutup mulut dengan tangan kanan sambil menoleh kepada di pemanggil dengan tatapan kagetnya.
"Kulihat akhir-akhir ini kakakmu tidak pernah menelepon lagi. Ada apa?" Dalam sekejap, Sharon menyesali keputusan bodoh itu. Makian demi makian bergantian ia lontarkan untuk diri sendiri dalam hati. Celine baru saja mengetahui bahwa kepergian orang tuanya adalah sebuah pembunuhan terencana. Hal itu pasti sudah cukup untuk membuatnya terguncang. Sehingga menjadi lebih khawatir terhadap perubahan kecil di sekitarnya.
Celine menatap makanannya yang tersisa separuh. "Entahlah. Kakak pasti sibuk di laboratorium. Kurasa bukan hal aneh kalau dia tidak menghubungiku untuk beberapa hari ini," sahut gadis itu tanpa intonasi berarti. Sharon membisu. Dalam diamnya ia mengucapkan banyak ungkapan rasa syukur.
"Ah, baguslah." Celine melirik bingung. Kali ini giliran Sharon yang dibuat kaget. Dia melambai-lambaikan tangan, meralat ucapan spontannya. "Ahaha ... lebih baik kita ganti topik saja. Kira-kira apa yang dilakukan Cyril sekarang? Dia selalu saja menenggelamkan diri dalam riset atau apalah itu. Apa dia tidak akan kesusahan mengejar materi di kelas?"
Celine meletakkan kepala di atas sandaran kursi hingga matanya lurus menatap langit-langit. "Apa boleh buat? Dia sendiri yang memutuskan. Lagi pula ...." Dia melirik Sharon pelan. "... dia itu Cyril, anak yang tingkat kecerdasannya hampir setara dengan ilmuwan pencetus teori relativitas. Tidak mungkin kau lupa."
Senyuman kecil terbit di wajah Sharon. Mana mungkin dia lupa. Hal itulah yang membuat segenap hatinya seketika memutuskan untuk menjadikan laki-laki sebagai cinta pertama. Perasaan bodoh yang malah menuntunnya menuju dilema yang tak kalah pelik dalam lingkaran pertemanan tersebut.
Sharon menggeleng cepat. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menjadi melankolis dan terus-menerus mengasihani diri sendiri. Dia menghabiskan sarapannya setelah melirik angka yang tertera pada benda yang tertanam dalam pergelangan tangannya. Percakapan tersebut berakhir tanpa menyebabkan masalah baru. Mereka bergabung ke kelas tanpa terlambat sedetik pun.
Siswa yang mengikuti kelas sama sekali tidak berubah sejak hari pertama. Bahkan jika diperhatikan, jumlahnya terus berkurang setiap beberapa harinya. Sepertinya itu sudah cukup untuk menjelaskan mengapa ada lingkaran kehitaman samar yang membingkai kelopak mata Leon.Bagaimana tidak? Malam hari ia selalu terjaga oleh pikiran-pikiran berat yang mengganggu mimpi indahnya. Pagi hari bukannya bebas menikmati hari baru, pemuda itu masih berusaha menuruti tuntutan rasa penasarannya dengan membaca daftar korban meninggal dunia juga tak lupa jejeran nama pasien baru. Sebastian yang memergokinya pun hanya bisa geleng-geleng kepala, mengira semua orang kota seperti itu.
Setelah kelas berakhir, diskusi bersama Sharon sudah menadi jadwal wajib, bahkan sampai hampir membuat ia lupa pada pentingnya makan siang. Seperti yang dilakukannya hari ini. Selesai kelas tambahan, Leon kembali menghubungi Sharon. Tidak peduli walaupun perutnya merengek minta diberi makanan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...