6th Light: Don't Worry, Luna

78 19 31
                                    

Mr. Hayden tampak gusar sekembali dari aula. Entah apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Dia memijat pelipis yang terasa pening dengan ibu jari serta telunjuk kanan. Ruangan kerja yang tertata rapi malah membuat pria itu seperti anak sekolah yang dikejar deadline tugas.

Tiga ketukan menyadarkan dari pikiran-pikiran yang hampir menenggelamkan jiwanya. "Iya, masuk," sahut Mr. Hayden, disambut dengan suara desing pintu yang terbuka otomatis dengan perintah suara darinya. Dari ambang pintu, seseorang tampak menatap ragu-ragu ke sekeliling ruangan.

"Tuan, saya baru saja mendapat kabar dari bawahan Anda yang berada di Area 01," terang laki-laki itu, singkat dan jelas. Walikota hanya mengangkat kepala, memandang balik wajah salah seorang sekretaris - yang sebenarnya tidak dibutuhkan dalam jumlah yang banyak di zaman ini. Cukup satu orang yang akan mengontrol keluar masuknya e-mail di depan layar. Teknologi dapat mengelompokkan surel dalam sekejap mata, walau berdasarkan lima puluh kategori sekalipun.

"Ada apa?" Mr. Hayden bertanya datar. Sang sekretaris yang sepertinya baru mulai bekerja di sana tertegun akan dinginnya ucapan Walikota ketika suasana hati sedang buruk. Sehingga keringat mengalir dari kening, membasahi seluruh wajah.

"Mereka sudah mengumpulkan informasi dari seluruh siswa akademi yang akan ikut serta dalam kegiatan studi banding. Datanya sudah dikirimkan kepada Anda lima menit yang lalu," papar lelaki itu sambil menyeka keringat dengan ujung pakaian seragam yang dikenakan. Walikota hanya mengangguk tipis kemudian mengecek berkas yang dimaksud lewat layar di depannya.

"M-maaf, Tuan." Ucapan itu membuat tatapan dingin Mr. Hayden kembali terarah padanya, sehingga kata-kata yang hendak terlontar kembali tertahan di tenggorokan. "S-saya ... tidak bermaksud lancang, Tuan. Tetapi ...."

"Tetapi apa?" Pria itu ‐- meski tidak terlalu tertarik -- tetap menanyakan hal tersebut pada sekretarisnya yang tampak sangat gelisah sejak memasuki ruangan itu.

Tenggorokannya terasa kering untuk bicara panjang lebar. "Saya rasa ... jika melihat epidemi di Area 01, ada baiknya program tersebut diundur sampai keadaan membaik. Atau mungkin ... dibatalkan saja. Kalau tidak, saya khawatir ini akan menimbulkan keresahan di masyarakat," saran lelaki itu dengan suara yang sedikit parau.

Pria itu menautkan jemari tangan. "Diamlah. Kamu tidak tahu apa-apa tentang program ini," tegas Mr. Hayden dengan menekankan setiap kata yang terucap. Kalimat sedingin es itu membuat sang bawahan hanya bisa menunduk dalam-dalam sambil berulang-ulang menggumamkan permintaan maaf.

Walikota bangkit dari kursinya, menatap hamparan kota metropolitan tempatnya menjabat lewat dinding kaca. "Maksudku, program ini sudah terencana lama sekali. Dan barusan, aku menyampaikannya kepada penduduk Area 18. Disaksikan seluruh distrik. Bahkan Presiden sendiri melihatnya dengan mata telanjang."

Dia menyentuh dinginnnya kaca akibat udara yang cukup lembab sejak tengah hari. "Jika program ini dibatalkan, mau ditaruh dimana wajahku? Aku akan dikenal sebagai Walikota yang hanya bisa membuat rencana besar tanpa adanya realisasi. Kepercayaan mereka adalah segalanya. Tanpa semua itu, aku tidak mungkin menempati kursi Walikota," ungkap Mr. Hayden panjang lebar.

Laki-laki muda itu kembali menunduk. "Maaf, Tuan. Saya memang tidak tahu apa-apa tentang program itu, juga semua rencana Anda. Saya permisi dulu," ujarnya dengan penuh rasa bersalah seraya berbalik menuju pintu yang tertutup secara otomatis setelah dirinya berada cukup jauh dari sana.

Mr. Hayden menarik napas berat. Kembali menatap kosong keluar dinding kaca. Entah apa yang dia pikirkan.

------x---x------

Seperti biasa, Cyril mengantar pulang teman kecilnya sampai depan pintu rumah. Menatap gadis bermanik biru itu dari kejauhan sambil tersenyum hangat sampai pintu benar-benar tertutup rapat, memastikan dia aman. Setelah itu melesat dengan sepeda terbang menuju rumah yang sebenarnya hanya berjarak lima meter dari sana.

Celine meletakkan tas ranselnya perlahan meski tablet serta kacamta goggle itu tidak akan rusak karena benturan di atas sofa. Merebahkan diri di atasnya kemudian menyalakan televisi. Suasana rumah cukup sepi. Dapat disimpulkan bahwa Luna belum pulang dari laboratorium.

Cukup lama ia memandangi layar yang tertempel di dinding, hingga secara tidak sadar dirinya terlelap oleh alunan musik klasik yang diputar oleh satu-satunya channel yang tidak menayangkan berita membosankan dan sulit dimengerti Celine. Saking indahnya alunan melodi yang terdengar, gadis itu sampai lupa jika dirinya belum makan apa pun sejak pulang dari akademi.

"... line, Celine! Celine, bangunlah. Kau belum makan malam kan." Luna dengan lembut menggoyangkan lutut adiknya yang tidur dengan posisi kaki terlipat. Celine yang masih setengah sadar membuka matanya lebar-lebar saat mendengar kata 'makan'. Kini ia ingat alasan mengapa dia sampai bermimpi tentang makanan kesukaannya.

"Kakak, maaf aku ketiduran." Celine mengucek kedua mata yang terasa perih, kemudian menguap lebar.

"Tidak apa-apa. Kakak juga minta maaf karena baru pulang saat pukul setengah tujuh malam," sahut Luna. Sang adik yang mendengarnya hanya mengangguk samar, kemudian membuka mulut lebar-lebar demi menarik sebanyak mungkin oksigen.

"Oh, tidak masalah. Aku juga baru pulang dari Gedung Walikota," balas gadis itu. Kedua mata Luna membeliak mendengar pengakuan tersebut. Dia dengan segera melupakan soal jas berwarna cokelat yang belum dilepas.

"Apa saja yang kau lakukan di tempat terkutuk itu, Celine?!" Luna menggungcangkan bahu bahu gadis berambut pendek itu, hingga kesadaran adiknya langsung terisi seratus persen. Celine yang merasa kepalanya sedikit pusing akibat perlakuan sang kakak hanya memandang bingung.

"Terkutuk?" gumamnya. "Ada apa, Kak? Cyril mengajakku pergi ke acara peringatan seratus tahun pandemi covid-19. Apakah salah?" Celine memiringkan kepala tidak mengerti. Dengan segera, wanita muda itu melepaskan bahu adiknya.

"Y-yah, aku .... Maksud Kakak, apa Walikota mengatakan sesuatu yang membuatmu merasa aneh? Seperti ... sebuah doktrin, misalnya." Luna menyingkirkan rambut yang luruh ke wajah, memandang ke arah lain. Sulit sekali mengungkapkan suatu hal yang membuatnya khawatir setengah mati.

"Doktrin?" Celine semakin tidak mengerti. "Entahlah, aku tidak terlalu mendengarkan pidato Walikota. Yang aku lakukan hanya memerhatikan Cyril yang sibuk sendiri," paparnya terus terang. Mendengar hal itu, Luna dapat mengembuskan napas lega.

Situasi pelik tersebut sulit sekali untuk ia jelaskan. Rasanya sangat tidak mungkin memberitahu segala prasangka dalam benaknya tentang Walikota kepada sang adik. Berkata jika pria itu "membunuh" orang tua mereka bisa-bisa membuat Celine berpikir macam-macam.

"Sudahlah, lupakan saja. Kakak sepertinya terlalu khawatir padamu," ucap Luna kemudian berjalan menuju ke elevator. "Kakak akan memasak makan malam," ujarnya singkat bahkan sebelum ditanya.

Luna mengembuskan napas panjang. Sepulang dari laboratorium, ia harus melakukan semua pekerjaan rumah. Memastikan kegiatan sang adik setiap pulang dari akademi. Sendirian, layaknya single parent bagi Celine. Melelahkan memang. Tetapi itu tak seberapa dibanding melihat pikiran gadis kecil yang masih itu diracuni oleh dogma sesat yang diciptakan para petinggi global licik.

Stuart Hayden. Sejak kematian kedua orang tuanya, nama pria itu sudah telanjur buruk dalam pikiran Luna. Pria ambisius yang tidak pernah menyerah dengan tujuan -- yang bagi sebagian orang -- terlalu besar dan mustahil. Dia sangat khawatir Celine akan termakan oleh ucapan penguasa yang mampu membuat manusia paling keras kepala di atas bumi ini berlutut, sekalipun diperintah menjilati sepatunya.

Luna memegangi kepala yang terasa berat. "Ah, apa aku hanya terlalu mencemaskannya?"

*

13 Oktober 2020, 06:18 WITA.

Jangan lupa vote dan comment-nya ya 😁.

Jangan lupa vote dan comment-nya ya 😁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[END] We Will See the Sunshine TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang