Untunglah Cyril mampu dengan cepat mengembalikan suasana hati seusai berdebat panjang lebar. Sehingga ketika jam pulang dari akademi tiba, dia bisa lebih tenang mengendarai sepeda hidrogen dengan kecepatan normal seperti biasa sembari membonceng teman masa kecilnya.
Di belakang, Celine tersenyum lebar melihat matahari yang mulai tumbang ke arah barat. Gadis itu tampak sangat bahagia saat hangatnya sinar mentari menyiram wajah serta seluruh tubuhnya. Persis seperti anak balita yang sedang menikmati guyuran menenangkan dari pancuran air.
"Hei, Cyril." Yang dipanggil namanya segera melirik spion sembari berusaha agar konsentrasinya tidak buyar. "Kapan kita bisa melakukannya lagi, seperti dulu?" Pertanyaan tersebut masih kurang spesifik. Lawan bicaranya pun mengernyit karena tidak tahu harus menjawab apa.
"Melakukan apa?" laki-laki itu bertanya balik. Tentu itu lebih baik daripada menebak sendiri apa maksud dari kalimat tersebut, lalu menjawabnya asal.
"Melihat matahari terbit dari rooftop. Saat sewaktu masih kecil, kita selalu melakukan itu setiap pagi. Ayo, kita lakukan besok!" pintanya antusias sambil mengeratkan pegangan pada pundak Cyril. Sampai-sampai sang empunya hanya meringis sambil menstabilkan posisi sepeda yang hampir miring karena efek kejutan.
Cyril menarik napas dalam-dalam. "Maaf, aku tidak bisa. tugasku masih banyak. Lain kali saja ya," ucapnya dengan sedikit nada penyesalan. Dia sendiri tidak mengerti mengapa menolak permintaan gadis itu merupakan hal paling sulit di dunia. Jika bukan karena hal krusial, ia berjanji tidak akan pernah melakukan hal itu.
Celine memajukan bibir satu sentimeter, kemudian mendengus kesal. "Kau ini bagaimana? Sudah tahu tugas dari akademi saja jumlahnya seperti bintang di Milky Way, kenapa malah meminta tugas tambahan? Kamu benar-benar spesies paling aneh di antara populasi manusia," rajuknya.
Sementara yang dikatai hanya tertawa kecil mendengar ungkapan hiperbol itu. Dia tentu tahu jika jumlah persisnya tidak akan sampai milyaran. Bahkan jumlah penduduk bumi saja masih lebih banyak daripada tugas yang diberikan. "Kau mungkin tidak akan mengerti apa yang kupikirkan."
Kalimat tersebut sama sekali tidak meleset nol koma satu derajat pun. Sejak dulu, Celine memang tidak pernah bisa menjangkau logika sahabat kecilnya. Sehingga mau tak mau, Cyril harus mencarikan bahasa yang lebih sederhana jika ingin memberikan penjelasan yang diminta perempuan itu.
Jauh berbeda dengan Cyril yang hidup dengan mempertimbangkan sains dan data penemuan terbaru beserta segala kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Celine lebih memilih hidup dengan tenang tanpa terbebani apa pun. Prinsip hidupnya, kebahagiaan tersebut sangat sederhana. Seperti sinar matahari.
"Ngomong-ngomong, apa Sharon baik-baik saja?"
------x---x------
Sementara itu di akademi.
Sebastian keheranan setengah mati saat hendak memeriksa barang tertinggal di loker. Sejak kedatangan ia kemari sampai program pertukaran pelajar ini usai, bagian itu akan menjadi miliknya secara utuh. Tetapi seperti yang dia lihat, entah siapa yang meletakkan sebuah benda kecil berwarna hitam di tengah-tengahnya.
Karena bingung bercampur penasaran, Sebastian pun meraih benda tersebut kemudian memerhatikannya. Benda itu hanya berukuran tiga sentimeter kubik dengan bentuk memanjang. Terbuat dari bahan logam antikarat ringan. Tidak salah lagi, itu adalah sebuah perekam suara model lama yang kini keberadaannya sudah sangat langka.
Dia meletakkan perekam suara itu di telinga kiri. Tanpa berpikir dua kali, ia mengikuti apa pun yang diperintahkan. Tidak ada sedikitpun rasa curiga yang terselip di hatinya saat suara tersebut malah membawanya ke bagian halaman belakang akademi yang sudah kosong dari para anggota klub olahraga.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...