5th Light: It's a Terrible Decision

78 19 32
                                    

Di tengah indahnya nostalgia masa kecil, Carla tiba-tiba teringat sesuatu. "Hei, tadi kau bilang ada sesuatu yang ingin kau katakan. Apa itu?"

"Eh?" Laki-laki yang tengah memandangi kekompakan tanaman saat menghadap matahari sore sedikit tersentak. Kebiasaan lain yang masih saja dipelihara Sebastian sampai sekarang adalah mudah melupakan sesuatu jika otaknya terfokus pada hal yang disukainya. "O-oh yang itu ya." Dia menggaruk kepala belakang setelah berhasil mengingatnya kembali.

"Kepala Akademi tadi pagi mengatakan jika aku terpilih menjadi salah satu siswa yang ikut dalam program studi banding bersama empat belas orang lainnya. Jadi, aku akan pergi ke Area 18 selama dua minggu. Sejujurnya, aku sedikit ragu. Bagaimana jika aku tidak bisa beradaptasi dengan kehidupan kota metropolitan seperti itu?" jelasnya.

"Tidak apa-apa." Carla tersenyum tipis. Meskipun berat karena selama ini mereka hampir tidak pernah berpisah jauh. Setiap kali Sebastian harus pergi karena suatu hal, dia pasti ikut serta. Berbeda dengan sekarang. "Kita sudah berkeliling distrik itu, mewakili klub botani Helian Academy di berbagai event. Kau itu mudah sekali beradaptasi. Percayalah, Area 18 tidak akan jauh berbeda dengan tempat ini."

"Kalau aku pergi, apa kau akan kesepian?" Untuk yang ke sekian kali kebiasaannya kambuh. Tetapi seperti biasa Carla hanya menggeleng sebagai konfirmasi jika pertanyaan tersebut memiliki jawaban yang sudah pasti, tetapi rasanya tidak enak untuk diucapkan terus terang.

"Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Kau beruntung karena bisa keluar Area. Kami bahkan berharap bisa sepertimu. Jadi, manfaatkan kesempatan ini dengan baik, ya." Carla kembali tersenyum meski semua yang dikatakannya berbeda dengan kenyataan. Semua itu dia lakukan untuk mengusir keraguan di benak sahabatnya.

"Terima kasih. Akan kuingat kata-katamu," bisiknya. Gadis itu mengangguk lemah. Sebastian menggenggam erat telapak tangan pucat dan dingin Carla sesaat. Ia memutuskan untuk membuka minuman yang dia beli sebelumnya karena tenggorokan mulai terasa kering.

Namun, hanya seteguk yang benar-benar masuk. Laki-laki itu terbatuk seolah aliran minuman tersebut masuk ke saluran yang salah. Carla khawatir karena ia tak bisa berhenti batuk. Ia menyodorkan botol air mineral yang masih tersisa setengah beserta sebutir pil kecil yang kebetulan masih tersisa di saku sweater.

"Kau tidak apa-apa?" gadis itu bertanya khawatir setelah batuk yang menyebabkan dada laki-laki itu terasa sakit mulai mereda. Sebastian mengangguk samar seraya mencoba mengatur napas sebelum akhirnya reaksi tersebut berganti menjadi bersin yang juga tidak cepat berhenti.

Carla memberikan sapu tangan kecil yang selalu ia bawa. "Kau ini, sebenarnya sudah makan apa? Flu-mu kelihatan parah sekali." Sebastian menggenggam erat benda pemberian temannya setelah obat itu mulai bereaksi. Napasnya terus menderu membuat ia susah berbicara.

"Entahlah ..., aku kurang memerhatikan pola makanku ahir-akhir ini," ia berucap samar. Kedua tangannya menahan berat tubuh yang entah mengapa terus bertambah. Lelaki itu berganti menatap secarik kain yang mulanya selalu tersimpan di saku Carla. "Maaf, aku ... mengotori sapu tanganmu."

Gadis berambut sepunggung di dekatnya mengembuskan napas lega. "Tidak apa-apa. Kau boleh mengembalikannya kapan saja." Sebastian terdiam. Padahal, ingin sekali dia protes dan mengingatkan bertapa berharganya sapu tangan kecil itu bagi Carla. "Anggap saja itu sebagai jaminan jika kita akan bertemu lagi suatu hari nanti," lirihnya.

Sebastian hanya mengangguk kecil. Entah mengapa dia merasa jika kalimat itu sedikit janggal.

------x---x------

Sore itu, di Area 18.

"Orang-orang sebelum kita telah berhasil melaluinya. Sekalipun orang-orang tercinta pergi terlebih dahulu, mereka tak pernah takut untuk menghadapi masalah yang ditimbulkan makhluk berukuran mikro itu. Hanya mereka yang bermental kokoh yang mampu bertahan di situasi sulit pandemi.

"Hal itu harus menjadi pembelajaran bagi kita saat ini. Bumi kita memiliki cara tersendiri untuk memilah siapa yang benar-benar manusia, dengan mereka yang hanya 'virus' bagi dunia. Maka, satu-satunya cara agar kita tidak tersingkirkan oleh seleksi alam yaitu dengan membangung karakter seperti orang-orang terdahulu. Dengan begitu, kita bahkan bisa menjadi jauh lebih baik daripada mereka. Sekian yang dapat saya sampaikan, terima kasih."

Gemuruh tepuk tangan kembali pecah saat Presiden mengucapkan kalimat penutup pidato. Kamera-kamera kecil yang beterbangan layaknya serangga kembali mengambil foto sebanyak mungkin dari berbagai sudut. Lampu sorot panggung beralih kepada sang pembawa acara bersamaan dengan terhentinya aksi para penonton.

"Baiklah, terima kasih kepada Tuan Howarth atas sambutannya yang sangat memotivasi. Selanjutnya, acara kita lanjutkan dengan kesan dan pesan Walikota tentang acara ini, sekaligus penyampaian rencana-rencana beliau untuk ke depannya. Kepada Tuan Hayden, waktu dan tempat kami persilakan." Pembawa acara kembali mundur setelah Walikota menanggapi.

Respons dari penonton tak kalah dari sebelumnya. Mereka memerhatikan setiap patah kata yang terucap dari bibir pria itu. Namun itu tak berlaku bagi keempat siswa Krypton Academy yang tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tidak satu pun kalimat yang mereka dengarkan sampai akhirnya, pidato tersebut telah sampai ke bagian yang memiliki hubungan erat dengan mereka.

"Seperti yang selalu saya katakan, pendidikan merupakan sektor terpenting untuk memajukan peradaban. Jadi, kami akan merealisasikan rencana yang kami susun jauh sebelumnya. Yaitu dengan mengadakan pertukaran pelajar sekaligus studi banding dengan mengambil perwakilan siswa terbaik dari Area 01. Kami akan berusaha, program ini berjalan lancar seperti yang lainnya," jelas Mr. Stuart Hayden yang kemudian juga disambut antusiasme penonton.

Cyril memandang kedua pemimpin dunia yang tengah berada di atas panggung. Lebih tepatnya Walikota. "Ini tidak bagus," gumamnya samar.

Celine yang kebetulan memiliki pendengaran bagus kebingungan melihat ekspresi Cyril mendadak berubah menjadi seperti seseorang yang kehilangan harapan. Dia tahu, lelaki itu sering menyembunyikan sesuatu yang kemungkinan akan membuat dirinya takut atau cemas berlebihan. Tetapi mimik wajah seperti itu, justru akan salah jika dibiarkan saja.

"Ada apa, Cyril?" gadis berambut bob itu memberanikan diri bertanya. Tidak akan membiarkan temannya bersedih, itulah yang menjadi prinsip Celine. Ia akan berusaha menjadi pendengar yang baik walaupun masalah yang menimpa mereka seberat persoalan politik global.

Cyril menatap perempuan yang duduk manis di kursi sebelah kanannya. Wajah penuh rasa ingin tahu Celine membuatnya tidak tega untuk berkata 'tidak apa-apa'. Ia menghela napas berat, menunjukkan layar tipis di genggamannya yang menunjukkan headline berita.

"Wabah H5N1 Mulai Merebak di Area 01."

*

6 Oktober 2020, 05:40 WITA

Jumlah: 973 kata.

Jangan lupa vote dan comment 😊.

Jangan lupa vote dan comment 😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[END] We Will See the Sunshine TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang