Bertahun-tahun sebelum semua kekacauan ini terjadi, bumi pernah mengalami keadaan yang lebih mengenaskan. Tepatnya sesaat setelah era perdamaian serta revolusi 5.0 yang berhasil membuat dunia yang berusaha menggeliat bangkit pasca perang berubah 180 derajat.
Tidak semua daerah berhasil merasakan dampak positif dalam waktu dekat. Banyak tempat terlambat beradaptadi justru lumpuh karena wabah penyakit dan kelaparan yang disebabkan oleh kesulitan ekonomi. Anak-anak terlantar sebab ditinggal pergi orang tua yang berusaha mencari penghidupan, atau bisa saja telah dipanggil lebih dahulu menghadap Tuhan.
Beruntungnya, masih ada segelintir orang yang mencoba menyelamatkan generasi selanjutnya. Mereka membangun rumah sakit darurat, sekolah, serta berbagai fasilitas untuk orang-orang serta anak yatim piatu yang tersisa di daerah krisis. Para dermawan yang masih memiliki harta benda tak sedikit yang memberikan bantuan. Sehingga perlahan keadaan mulai membaik, angka kematian pun berkurang.
Pagi ini, langit tampak sedikit mendung. Hujan yang seharusnya dinanti-nanti, di masa ini malah berubah menjadi sesuatu yang dikhawatirkan akan membawa korban. Guyuran cairan asam dari atas langit mungkin masih sedikit lebih beruntung daripada hujan radioaktif seperti yang sering terjadi di belahan bumi lain.
Seorang relawan wanita yang masih berusia sekitar dua puluhan tahun dengan sabar menggandeng seorang anak laki-laki menuju ke sebuah ruangan tempat anak-anak lain melakukan kegiatan belajar. Hidup yang telah ia dedikasikan untuk pekerjaan ini tak sedikit pun merasakan lelah saat menghadapi mereka.
"Masuklah. Kau pasti akan senang bertemu teman baru," ujar perempuan itu sambil mengusap pelan rambut hazel sosok mungil di depannya. Anak itu hanya terdiam seraya menyentuh dadanya yang dipasangi alat aneh. "Sekarang kau baik-baik saja. Aku akan segera kembali," lanjut sang relawan hingga anak itu tidak punya pilihan selain menurut.
Kegiatan belajar pagi sudah dimulai. Karena masih kekurangan tempat, relawan terpaksa menggabung semua anak-anak berusia sekolah dasar yang jumlahnya kurang lebih hanya dua puluh lima orang, kemudian membuat beberapa kegiatan edukatif sementara menunggu keadaan memungkinkan.
Si anak berambut hazel itu malu-malu berjalan lalu duduk di barisan paling belakang tanpa disadari yang lain. Sepanjang kegiatan ia hanya membisu menyimak segala kesenangan. Tujuannya berdiam diri di situ tak lain adalah untuk menunggu kembalinya si relawan wanita yang menjemputnya dari rumah sakit.
Anak-anak dengan begitu semangat mengungkapkan impian serta cita-citanya seperti yang diminta pria relawan yang kini berada di antara mereka dengan senyum berseri. Dokter, guru, astronot, relawan, masing-masing bergantian menyebutkan nama perkerjaan tersebut. Sampai salah satu di antara mereka berdiri dan mencuri segenap atensi dari anak laki-laki berambut hazel itu.
"Aku ingin menjadi presiden. Tidak, aku tidak ingin uangnya. Aku ingin mengubah dunia. Jadi, tidak perlu ada lagi kelaparan, atau anak-anak yatim yang tidak bisa sekolah. Semua orang bisa hidup dengan damai, tanpa adanya perang. Itulah impianku." Suasana seketika hening. Tentu saja anak-anak lain masih berusaha keras mencerna ujaran salah satu anak tertua.
Entah mendapat keberanian dari mana, anak berambut hazel itu ikut bangkit dan bicara dengan lantang. "Aku setuju dengan dia. Dunia kita sekarang ini benar-benar rusak. Banyak orang yang hidup dengan kebencian kepada satu sama lain. Meskipun aku mungkin tidak bisa menjadi presiden sepertinya, aku juga ingin mengubah dunia ini."
Anak-anak ramai bertepuk tangan walaupun tidak terlalu mengerti, mengikuti apa yang dilakukan relawan lain yang kebetulan lewat. Namun, anak berambut hazel itu tidak terlalu memerhatikan. Dia justru saling berpandangan cukup lama dengan si laki-laki berambut pirang yang kini tampak semringah.
Beberapa jam kemudian, anak-anak kembali bubar untuk bermain di lapangan sembari menunggu waktu makan siang. Karena relawan wanita yang ditunggunya belum juga kembali, anak berambut hazel itu iseng berkeliling. Hingga tiba-tiba, ia tanpa sengaja melihat sosok bersurai pirang yang dikenalnya.
Dia mencoba memberanikan diri untuk menyapa, tetapi anak itu lebih dulu menyadari keberadaannya dan berbalik. "Halo, kamu kalau tidak salah yang tadi itu, kan?" Lawan bicaranya mengangguk pelan. "Salam kenal. Mulai sekarang kamu bisa panggil aku James. Namamu siapa?"
Anak berambut hazel itu membalas uluran tangan si rambut pirang. "Namaku Stuart. Yah, setidaknya ... itu yang dikatakan kakak-kakak relawan di rumah sakit," terangnya seraya menggaruk tengkuk. Akan tetapi, James lebih tertarik memerhatikan benda aneh yang terlihat lewat dua kancing bagian atas pakaian Stuart yang terbuka.
"Benda apa itu?" James yang penasaran perlahan mencoba menyentuhnya dengan tangan gemetar. Takut jika membayangkan jika benda itu bisa membuat dia tersetrum.
Stuart tersenyum tipis seraya memandang sayu, sedangkan tangan kanannya menyentuh alat itu. "Ah, benda ini ... aku juga tidak tahu pasti. Kerjanya sangat rumit, tidak boleh diutak-atik sembarangan. Dr. Vivian berkata aku harus memakaianya supaya bisa tetap hidup," terang anak laki-laki itu seadanya.
Penjelasan tersebut sudah cukup untuk membuat si anak berambut pirang bergidik ngeri saat kembali membayangkan benda itu rusak karena rasa penasarannya. Dia tertawa canggung. "Ah, lupakan saja kalau begitu. Stuart, aku benar-benar senang. Ternyata kita memiliki impian yang sama."
"Sungguh? Aku juga senang. Kita ternyata sepemikiran, ya," sahut Stuart yang akhirnya bisa benar-benar tampak riang setelah keluar dari rumah sakit.
"Ya. Mulai sekarang, kita adalah sahabat."
*
10 May 2021, 12:21 WITA.
Chapter ini sebenarnya panjang banget. Lebih panjang dari prolog. Makanya aku bagi jadi dua, supaya mata kalian enggak perih duluan bacanya 😁.
Oke, jangan lupa vote dan comment 😊.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...