34th Light: Why did You Leave Me

33 14 0
                                    

Umumnya, siswa akademi menghabiskan waktu libur dengan bersantai, atau mengulang pelajaran hari sebelumnya. Bukannya termenung di depan layar tablet sampai melupakan sarapan yang hampir dingin oleh suhu ruangan karantina, setelah hampir tidak tidur pada malam sebelumnya karena memikirkan hal-hal berat.

Leon mengernyitkan dahi melihat headline berita yang menyambut matanya yang masih berair kala terbangun dari alam bawah sadar. Apa lagi kalau bukan berita yang mengabarkan jika wali kota telah tiada.

Setelah semua yang dibeberkan Sebastian, dia sudah tak bisa memberikan simpati kepada pria itu. orang yang telah menyebabkan kematian orang tua Celine, serta bencana besar ini. Apa pun alasannya, menghapus keberadaan orang tentu saja bukan hal yang bisa dibenarkan.

Masalahnya, fakta yang dia temukan pagi ini seolah-olah mengembalikan semua kecurigaannya pada Sebastian seorang. Memang benar jika ajal adalah urusan Tuhan, tetapi berita kematian itu jelas mengganggunya. Jika Mr. Stuart Hayden sama saja dengan politisi gila jabatan, mengapa justru hal ini yang terjadi. Apakah pria itu mencoba memalsukan kematiannya?

Jika saja yang ditemuinya adalah berita tentang wafatnya presiden, semua ini akan menjadi jauh lebih masuk akal. Wali kota kemungkinan akan muncul sebagai pahlawan di tengah kacaunya situasi dunia yang tengah berkabung. Sehingga, dirinya bisa dengan mudah mengambil alih pemerintahan dunia.

Pemuda itu benar-benar tidak habis pikir. Apa keuntungan yang didapat jika orang itu memalsukan kematiannya? Ataukah ini artinya takdir mengendalikan keadaan lebih dulu sebelum konspirasi tersebut mencapai puncaknya? Jika memang benar begitu, apakah cerita panjang itu akan berakhir dengan begitu sederhana.

"Hei, tak kusangka kau sebegitu terpukulnya melihat berita itu. Sampai-sampai lupa kalau sarapanmu sudah semakin dingin." Sebastian menepuk bahu Leon, mengembalikan seluruh kesadarannya yang hampir menghilang di alam bawah sadar. Lelaki bermanik abu-abu itu mendengus kesal seraya menyingkirkan tangan di atas pundaknya.

Leon menggigit roti dingin itu, persis seperti seekor singa yang mengoyak daging mangsanya. Bukannya untuk mengatasi rasa lapar, makanan tersebut justru ia jadikan sebagai pelampiasan emosi. "Apanya yang terpukul? Aku hanya bingung memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di balik layar," ujarnya gusar.

Sebastian hanya ber-ooh pendek kemudian melanjutkan kegiatannya sendiri. Dia sama sekali tidak ada minat mengusik Leon sedikit pun. Hidupnya sendiri sudah kacau sejak terakhir Carla menelepon, dan bertambah kacau sebab sampai sekarang belum ada kabar apa pun mengenai gadis itu.

Beberapa jam berlalu. Ruangan tersebut hanya terisi oleh keheningan, serta suara dengungan yang sesekali datang dari ventilasi udara. Kemudian disusul oleh suara aneh dari sebuah speaker kecil yang terletak di dekat pintu. Suara yang kemudian mencuri atensi dari kedua pemuda yang menempati ruangan itu.

"Selamat siang. Ini adalah siaran serentak di seluruh dunia. Saya di sini mewakili seluruh staf laboratorium pusat di Area 18. Tanpa berlama-lama lagi, saya ingin mengumumkan bahwa saat ini kami telah menemukan obat serta vaksin yang bisa mengakhiri bencana ini."

Leon dan Sebastian terdiam, bergumul dengan pikiran masing-masing. Mereka tentu tidak tahu jika di saat yang sama, orang-orang di seluruh dunia secara bersamaan termenung kemudian mengucapkan syukur dengan nada haru.

"Kami memliki data yang menunjukkan jika saat ini itulah pilihan terbaik. Kami telah mengujinya kepada beberapa orang. Hasilnya menunjukkan jika virus tak bisa menginfeksi tubuh mereka. Karena itu, kami akan segera mendirtribusikannya ke seluruh dunia dalam waktu 24 jam. Sembari menunggu, tetaplah mengikuti peraturan dari pemerintah. Terima kasih."

Pengumuman itu pun berakhir meninggalkan sunyi. Sehingga, embusan napas panjang Sebastian bisa terdengar jelas. Dia tidak ingin berharap terlalu banyak, tak mau menambah perih dalam hatinya karena kekecewaaan yang menyakitkan. Senyuman Carla -- meski sesekali masih terbayang -- telah ia relakan untuk menjadi bagian dari kenangan saja.

Sementara itu, Leon menatap geram speaker itu seakan-akan ingin menghancurkannya. Kedua tangannya mengepal kuat. "Jadi, kau gunakan Celine untuk itu?" Dia mengenali suara itu, sangat kenal. Untuk sejenak ia bisa melupakan keanehan yang ia temui pagi tadi, dan segera menyimpulkan berdasarkan apa yang ia dengar. "Ternyata kaulah pengkhianatnya. Cyril ..., tidak ada maaf untukmu!"

------x---x------

Sesuai kata pengumuman hari itu, warga sipil yang masih hidup masing-masing mendapat vaksin. Benar kata Sebastian, apa yang lebih mudah digunakan untuk menggerakkan manusia selain memanfaatkan rasa takut ini sendiri. Yang mana ketakutan terbesar manusia adalah kematian. Meski beberapa orang masih menyimpan keraguan, mereka hanya bisa pasrah sebab khawatir bencana ini takkan berakhir.

Pasien yang terinfeksi juga berangsung pulih setelah mendapatkan obat antivirus. Meskipun tidak sedikit juga yang terlambat mendapat pertolongan dan tidak bisa bertahan lebih lama. Dalam empat hari, keadaan dunia terus membaik. Kemungkinan dalam satu miggu ke depan manusia bisa kembali hidup normal di permukaan, melupakan semua yang telah terjadi.

Pagi-pagi buta, seorang petugas datang membukakan pintu ruang isolasi untuk Celine. Kali ini, tidak lagi melarangnya menuju elevator. Orang-orang banyak yang memberanikan diri untuk keluar dari ruang karantina - pemerintah tidak melarang. Karena dalam beberapa hari mendatang, tempat itu pasti akan segera dikosongkan.

Celine berjalan tanpa tujuan pasti. Ia memeluk diri sendiri kala angin dingin berembus mencoba membekukan tulang. Kota terlihat kosong, seakan telah ditinggal pergi oleh penghuninya menuju planet lain selama bertahun-tahun. Hati kecil seakan-akan memerintahkan dia menuju salah satu bangunan belasan lantai yang tak terpakai.

Jemarinya menyentuh layar tipis di sebelah pintu elevator yang ternyata masih bisa berfungsi meski debu tebal menyelimuti. Benda itu bergerak pelan membawa gadis itu. beberapa detik kemudian berjalan pelan ketika sampai di tujuan. Apa lagi kalau bukan rooftop.

Angin yang berembus terasa semakin kencang. Dia berpegangan erat pada pembatas. Gedung-gedung belum memancarkan gemerlap cahaya yang mengalahkan terangnya gemintang. Tidak ada yang bisa terlihat. Fajar yang baru saja menampakkan diri belum sanggup menerangi kota.

Air mata kembali meleleh dari pelupuk matanya. "Wabah ini sudah berakhir. Kita bisa kembali melihat matahari sekarang. Tetapi kenapa ...." Sosok pemuda yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya kini justru menghilang di akhir cerita. Dadanya kembali terasa sesak. Begitu perih, tak bisa dijelaskan dengan satu atau dua kata. Bahkan dunia seluas ini tak ada bedanya dengan ruangan isolasi.

"... kenapa kau pergi?"

Dia tak bebas. Perasaan itulah yang sampai kini membelenggunya.

*

29 April 2021, 11:50 WITA.

Sebenarnya minggu ini aku pengen double update. Tapi ada satu dan dua hal yang bikin aku enggak sreg sama bagian akhirnya, sampai harus ngerombak outline. Aku ini emang labil ya. 😂

Okey, doakan aja bisa segera kelar.

Jangan lupa vote dan comment. 😁

[END] We Will See the Sunshine TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang