20th Light: Their First Day on Quarantine

37 19 35
                                    

Usai mengobati luka para warga sipil yang melarikan diri sebelum ikut menjadi korban dari kekacauan di Distrik 209, para petugas penyelamat membawa mereka semua menuju pos darurat untuk mendapat penanganan lebih lanjut. Sekaligus melakukan pemeriksaan apakah mereka akan dibawa ke rumah sakit atau ke instalasi karantina.

Meski lutut dan telapak tangan masih terluka, semua itu tidak terasa sebab pikiran Celine hanya tertuju pada Cyril yang menghilang entah ke mana. Pandangannya menjelajahi bagian dalam mobil yang dipenuhi alat medis. Hati gadis itu sempat diliputi perasaan khawatir, sedang dirinya sendiri saja belum bisa bangkit dari atas brankar.

Akhirnya, dia hanya bisa pasrah ke mana petugas membawanya bersama warga sipil lainnya. Seorang perawat berpakaian lengkap yang sebelumnya mengobati luka Celine mendorong brankar menuju sebuah ruang berwarna putih berukuran tiga kali tiga meter. Ia sama sekali tidak acuh apa yang dilakukan para dokter dengan mesin-mesin aneh yang belum pernah dilihatnya. Cyril adalah satu-satunya yang dia pikirkan.

Apa yang dia lakukan? Jangan bilang dia nekat kembali ke rumahnya dan membantu orang lain yang terjebak dalam reruntuhan garasi, batinnya cemas. Memang tidak ada yang salah dari menolong orang agar bisa selamat. Tetapi jika sampai melupakan bahaya yang nyawanya sendiri, menurut Celine itu sudah sangat berlebihan.

Setelah hampir satu jam menunggu di ruangan serba putih dengan lampu terang yang menyorot dari atas, salah seorang dokter yang mengatakan jika Celine tidak terinfeksi. Pintu ruangan berbentuk seperti kubus itu terbuka lebar hingga salah satu perawat datang dan menjelaskan hasil pemeriksaan. Gadis itu sama sekali tidak peduli. Dia sudah bisa menduga hal itu. Justru kalau tesnya mengatakan kalau ia terinfeksi, itu baru aneh.

"Aku sudah bisa berjalan," senyum Celine saat pria itu hendak membantunya keluar dari sana dengan mendorong brankar. Meski tampak sedikit khawatir dengan jalannya yang masih tertatih, perawat itu hanya menghela napas sambil memberikan perlengkapan pelindung diri berserta sebuah benda kecil yang berfungsi sebagai guide.

Celine berterima kasih kemudian memasang alat kecil tersebut di telinga. Benda itu terbuat dari logam antikarat. Cara kerjanya mirip seperti sebuah alat pemandu yang menggunakan bantuan artificial intelligence, yaitu dengan memberikan perintah suara sambil mendeteksi keadaan sekitar. Bentuknya persis seperti airpods yang ukurannya yang dua kali lebih kecil.

Tempat karantina bagi mereka yang masih sehat terdapat di kedalaman tiga ratus meter di bawah tanah. Terdapat banyak sekali ruangan yang cukup untuk menampung semua penduduk bumi saat itu. Menurut pengakuan para teknisi yang mengerjakannya, ruang bawah tanah dengan luas yang setara dengan pemukiman di permukaan diselesaikan dalam watu dua minggu dengan bantuan jutaan mesin.

Sementara di atasnya yaitu pada kedalaman seratus meter, terdapat tempat khusus bagi tenaga medis dan peneliti yang bertugas menemukan obat untuk mengakhiri pandemi ini. Pasien terinfeksi dirawat di permukaan dengan mengandalkan robot yang diprogram oleh pada tenaga medis dari bawah. Dan itu sama artinya Celine akan terpisah dengan kakaknya selama pandemi ini belum berakhir.

Semua penduduk sipil akan tinggal di ruangan yang tersedia sampai pandemi ini berakhir. Semua fasilitas termasuk konsumsi akan disediakan oleh petugas khusus dengan anggaran Bank Sentral serta bantuan dari donatur yang hanya akan cukup membuat mereka bertahan selama tiga bulan di bawah tanah. Semua itu dilakukan agar situasi lebih mudah terkendali, sekaligus mengurangi korban yang berasal dari kalangan tenaga kesehatan.

Benda tersebut membawa Celine ke sebuah ruangan dengan kode 4820B, setelah sebelumnya memberikan penjelasan panjang lebar mengenai tempat karantina tersebut. Gadis itu mengetuk pintu tiga kali. Menurut alat tersebut, ia akan berbagi ruangan dengan satu orang teman yang akan dipilih secara acak. Namun, alat komunikasi di dalam sana sudah cukup untuk membantunya terhubung dengan siapa pun di seluruh dunia.

Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari dalam, Celine membuka pintu tersebut dengan menempelkan telapak tangan di atas permukaannya, persis seperti yang diperintahkan berkali-kali oleh guide tersebut. Pintu seketika terbuka menampakkan sebuah lorong dengan cahaya remang-remang, lalu tertutup kembali secara otomatis setelah gadis itu masuk.

Ia berjalan menyusuri lorong sepanjang lima meter dengan kamera berbagai fungsi yang menyorot dari atas. Saat lorong itu berakhir, satu hal yang ia temukan adalah ruangan dengan nuansa biru. Barang-barang di dalam sana disusun sedemikian rupa, hingga membuatnya merasa begitu familier.

"Halo, apa ada orang di sini," panggilnya. Celine mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Ia mengembuskan napas panjang kemudian melepaskan semua perlengkapan pelindung yang melekat di tubuh serta wajahnya.

"CELINE!" Gadis berambut bob itu tersentak kaget dengan seseorang yang tiba-tiba mendekapnya erat-erat dari belakang. Suara serta sikapnya yang sedikit heboh terdengar sama sekali tidak asing. "Aku tidak menyangka kalau kaulah yang akan menjadi teman sekamarku di ruang karantina yang membosankan ini. Ini ..., benar-benar membuatku terharu."

"I-iya ... tapi, bisa tolong lepaskan aku?" pintanya dengan suara serak karena leher yang tercekik. Orang itu pun segera melepaskannya. "Oh, senang bertemu denganmu. Aku juga tidak menyangka kita akan satu ruangan," sahut Celine sambil berbalik menghadap gadis yang -- seperti yang ia duga -- tak lain adalah Sharon Johanson, teman sekelasnya.

Sebuah seringai tak berdosa tercetak di wajah Sharon. "Kau tahu, selama dua hari aku diam saja di sini. Bosan sekali. Karena itu aku iseng mengubah pengaturan ruangan di sini menjadi seperti kamarku. Ini kesempatan untukku. Rumahku dulu tidak punya fitur seperti ini. Tetapi kalau tidak suka, kau bisa mengubahnya. Kau hanya perlu memerintah, mesin akan mengerjakannya," jelasnya panjang lebar.

Celine menggeleng pelan. "Tidak, terima kasih. Seperti ini saja aku suka. Kau memang berbakat dalam mendesain ruangan, ya," pujinya. Dia melirik pakaian seragam yang ternoda segala macam kotoran. "Aku mau mandi dulu. Guide itu berkata, di sini ada kamar mandi dan kita bisa mendapatkan pakaian yang pas. Itu benar, kan?"

"Yap, lantai ruangan ini akan mengeluarkan pakaian sebanyak apa pun yang kau mau, hanya dengan diberi perintah suara. Sepertinya mereka benar-benar sudah mempersiapkan semuanya agar kita tidak perlu keluar dari berinteraksi langsung dengan orang banyak," jelas Sharon sambil berkacak pinggang, menatap sekeliling. Celine mengangguk-angguk kemudian berjalan menuju kamar mandi seperti yang ditunjukkan pada peta ruangan di lorong.

"Aku menunggu kepastian soal evakuasi Distrik 209 karena sangat khawatir padamu. Apa di sana terjadi kekacauan juga?" Celine hanya menjawab interupsi tersebut dengan anggukan. "Oh, syukurlah. Setidaknya kau selamat." Mereka kembali saling memberi pelukan hangat. Entah kapan niat Celine untuk membersihkan diri benar-benar tercapai.

Meski tidak ada yang bisa menjamin adanya hari esok, setidaknya hari pertama mereka masih berjalan lancar.

*

14 Januari 2021, 11:10 WITA.

Huft, akhrinya bisa update juga 🥺.

Jangan lupa vote dan comment.

Jangan lupa vote dan comment

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[END] We Will See the Sunshine TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang