Sharon merasa tidak enak hati mengajak Celine berbicara. Gadis itu kini tengah meringkuk di atas tempat tidur seraya menutupi sekujur tubuh dengan selimut. Entah sudah tidur atau belum, Sharon tak bisa menebak. Dia hanya bisa memberikan tatapan prihatin yang sama sekali takkan membantu saat perasaan temannya begitu. Yang dilakukannya justru mondar-mandir dengan perasaan tidak karuan.
Tekanan dan kepedihan adalah penyebab seseorang menjadi lebih kuat, prinsip lama yang pernah ia dengar dari sang kakek yang juga kehilangan seluruh anggota keluarga dalam sebuah kecelakaan saat usia belia. Jika saja ia bisa bertemu kembali dengan pria itu, ia ingin menyangkal kalimat yang pernah dianggapnya sebagai sebuah kebenaran.
Bukan karena rasa hormatnya telah luntur, tetapi pemikirannya mulai dewasa untuk mengerti tentang kehidupan yang dia jalani menemukan fakta yang berbeda. Hantaman badai memang membuat jiwa yang mencoba menerobosnya menjadi lebih kokoh. Namun, jika kaki tidak cukup kuat, badai akan menghempaskannya jauh kalau bukan petir yang menyambar lebih dulu.
Masalahnya, selama ini Celine selalu hidup bahagia dalam kebohongan yang dibuat oleh orang terdekatnya. Dia tampak seperti tidak pernah memiliki masalah berarti yang akan membuat dirinya bertumbuh. Setelah belasan tahun berlalu, kini ia baru menyadari adanya badai yang menghalangi jalan, sekaligus mengaburkan harapan nan redup seperti cahaya swastamita yang hanya tersisa semburat pudar di ujung cakrawala.
Sharon bernapas berat. Tidak ada hak yang mengizinkannya untuk selalu ikut campur. Lagi pula, akan sukar membuat Celine menerima fakta bahwa cahaya gemintang yang dia lihat sesungguhnya hanyalah kilatan petir, dan angin sejuk yang dia rasakan selama ini perlahan akan membuatnya mengalami hipotermia. Kebohongan itu sudah telanjur membuatnya berekspektasi terlalu tinggi.
Satu-satunya solusi terbaik yang dapat dia pikirkan sejauh ini hanyalah membiarkan Celine untuk sementara. Berceramah panjang lebar saat ini tidak akan membuahkan hasil dan malah akan memperumit masalah. Seseorang pasti membutuhkan waktu untuk sendirian. Jika besok keadaannya mulai memburuk, barulah saatnya untuk berbicara.
Gadis berambut hitam pekat itu beranjak mendekati sebuah meja di mana tabletnya tergeletak. Dia seketika mengernyit bingung saat melihat sebuah pesan panjang dari Leon. Sebab laki-laki itu biasanya malas berkirim pesan dengan Sharon malam-malam begini, kecuali hanya dengan respons singkat seperti orang yang malas mengetik di masa teknologi belum mengenal voice note.
Jarinya perlahan menggulir layar. Selama hampir tiga menit Sharon tidak kunjung menemukan akhir dari pesan tersebut. Dia bahkan mulai mengeluh dan berspekulasi pemuda itu salah mengirimkan tugas esainya. Untung saja, dengan segera ia menyadari maksud tulisan panjang lebar tersebut kemudian segera membacanya dengan serius.
"Sampai sekarang, kita tidak bisa memastikan apakah Sebastian benar-benar bisa dipercaya atau tidak. Bagaimanapun, anak itu seperti tidak menampakkan tanda-tanda kekhawatiran selama aku menginterogasinya. Tetapi itu justru masuk akal jika semua informasi meleset kecuali tentang kontrak dengan 'organiasasi gelap'."
Kening Sharon terlipat dengan isi pesan yang semakin tidak dia mengerti. "Aku sempat menanyai lebih jauh. Dan jawabannya sama sekali tidak tampak seperti dibuat-buat. Bagaimana menurutmu? Apa kita bisa mempercayainya?"
------x---x------
"Tunggu, Sebastian. Kau masih belum memberitahuku satu hal penting." Kalimat itu berhasil mencuri segenap atensi dari pemuda berwajah oriental itu. Leon melipat lenga di depan dada seraya melemparkan tatapan dingin. "Kalau kau memang memiliki hubungan dengan 'organisasi gelap' itu, kau pasti tahu sesuatu tentang mengapa jumlah korban yang terus bertambah walaupun kita semua diisolasi di tempat ini."
Sebastian terkekeh pelan. Entah apa maskud dari tindakan tersebut. "Bisa-bisanya kau mengeruk semua informasi. Padahal kau sama sekali tidak percaya padaku, kan? Aku tidak tahu apa pun. Kalaupun aku memiliki informasi yang kau inginkan, takkan kuberi pada orang sepertimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...