Sharon memperbaiki posisi airpods, memanggil-manggil nama temannya dengan suara keras. Namun, hanya hening yang datang dari benda itu. Gadis itu mengeraskan rahang. "Apa-apaan yang sebenarnya terjadi pada anak itu?" Kepalan tangannya ia benturkan pada kursi.
Celine memiringkan kepala. Tidak cukup dengan sambungan panggilan yang tiba-tiba terputus, reaksi berlebihan dari Sharon membuatnya semakin kebingungan. Biasanya, gadis itu aka tak acuh dan malas memikirkan apa pun terkait dengan teman kecil yang dia anggap memiliki hati dan kepala batu.
Perempuan berambut hitam itu mendengus frustasi, lalu melepas airpods serta lensa kontak yang tidak lagi ada gunanya selama mereka tidak kembali tersambung. Celine ikut melakukan hal serupa, sembari bergeser hingga jarak mereka berdua tidak terlalu jauh. "Kau tidak apa-apa, Sharon? Bukankah biasanya kau memilih untuk tidak acuh, segila apa pun aksi yang dilakukan Leon?"
"Aku tahu," sahut gadis itu seraya mengepalkan kedua telapak tangan. "Bagaimanapun, pantaskah kita mengabaikan dia di saat seperti sekarang ini? Leon mungkin gila, tetapi masih jauh lebih rusak akal orang yang membunuh ... dengan mengatasnamakan masa depan. Sebagai individu yang sama-sama menginginkan kebenaran, kerja sama adalah penentu bisa tidaknya kita bertahan."
Celine seketika kehilangan kata-kata mendengar tekad yang membara dari sorot mata Sharon yang sedikit berubah. "Bagus, aku sangat senang kalian akhirnya memutuskan bekerja sama." Dia meraih telapak tangan Sharon yang terasa agak dingin sembari memasang wajah optimis. "Aku percaya, kita pasti akan berhasil mengungkapkan kebusukan mereka."
------x---x------
Ruangan kubus bernuansa putih tersebut terasa begitu dingin bagi pemuda yang kini duduk di salah satu kursi tepat di depan seorang pria. "Ada apa? Setelah semua yang telah kau lalui, kau ingin menyerah begitu saja?" Sang pemuda mengepalkan kedua tangan, bukan itu yang sebenarnya ingin ia sampaikan.
Dengan jantung yang berpacu kendang, laki-laki berwajah oriental itu akhirnya buka mulut. "Bukan begitu maksudku. Tetapi, apa keberadaanku dalam misi ini masih diperlukan?" balasnya tanpa intonasi berarti. Sorot matanya tampak kosong saat bersitatap dengan pria itu.
"Kami juga sedikit tidak percaya dengan hasil pemeriksaanmu. Benar-benar tidak masuk akal. Tetapi, mengundurkan diri di tengah misi adalah pilihan terakhir bagimu. Bukankah itu sudah tertera dalam kontrak?" Pemuda itu menghela napas panjang. Dia sama sekali tidak punya pilihan lain.
Satu pria lagi yang merupakan partner dari orang berambut pirang yang tengah menginterogasi anak laki-laki itu sibuk mencari di layar komputer di seberang meja. Setelah menemukan foto yang dicari, dia langsung membuka halaman itu hingga tampak sederet data yang membuat senyuman miring terbit di wajah itu. "Sebastian Hoover, apa kau sudah lupa pada Carla?"
"Carla yang berharga, kau tidak mau kehilangan dia, kan?" ujar pria berambut pirang itu. Dalam sekejap, manik cokelatnya kembali menunjukkan gejolak ambisi. Pemuda bernama Sebastian itu bangkit dari kursi dengan wajah yang sedikit menunduk, rambutnya luruh dan menutupi mata.
"Akan kulakukan," ujarnya dingin. Tanpa membuang banyak kerempatan, Sebastian balik kanan dan meninggalkan kedua pria itu dalam ruangan rahasia mereka. Langkahnya dengan mantap menyusuri lorong remang-remang. Tak butuh waktu lama hingga punggungnya hilang ditelan kegelapan.
Kedua pria itu tersenyum miring. "Anak muda ... benar-benar menarik ya."
Seperti sebelumnya, Sebastian melewati lorong tanpa sepatah kata, lalu berhenti di depan pintu sebuah ruangan seperti yang diinstruksikan. Ia menarik napas panjang. Otaknya tak lagi memikirkan resiko yang akan didapat dari tindakan itu. hanya bayangan tentang waktu sore yang dihabiskan bersama Carla di kebun bunga matahari.
Laki-laki itu segera menempelkan telapak tangan di tempat yang tersedia hingga pintu terbuka dengan sendirinya. Dia melangkah masuk kemudian melepas semua set alat pelindung diri. Namun, baru beberapa langkah, matanya bertemu dengan sosok bermanik abu-abu yang paling dia benci. "Kamu?!" Sergah keduanya hampir bersamaan seraya menunjuk satu sama lain.
Sebastian yang mulanya selalu berusaha tenang di setiap keadaan tidak bisa menahan diri untuk tidak meneriaki laki-laki di hadapannya, orang yang telah memvonisnya macam-macam. Sekarang, keadaan bisa menjadi jauh lebih rumit dari yang pernah ia perkirakan. "Kenapa kamu bisa ada di ini?!"
Leon bangkit dari kursi, tetapi enggak mendekati lawan bicara -- yang tanpa alasan logis dan bisa diterima akal sehat -- tiba-tiba muncul di hadapannya. "Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan di tempat ini?!" balasnya dengan intonasi yang lebih tinggi. Meski kesal, mau tidak mau ia harus menahan hasrat untuk menghajar Sebastian yang dia anggap hanya orang asing pembawa masalah.
"Aku tidak punya urusan denganmu," Sebastian mengggeram. Berurusan dengan seorang siswa Krypton Academy keras kepala bernama Leon tidak termasuk dalam kontrak. Jadi, seharusnya dia tidak perlu melakukan itu. Terserah julukan apa yang disematkan padanya. Yang diinginkannya hanyalah Carla.
Leon berdecak. "Lalu mengapa kau bisa ada di sini, Pembawa Virus?"
*
16 Februari 2021, 10:34 WITA.
Stay healthy everyone.
Jangan lupa tinggalkan vote dan comment 😃.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...