Hari-hari selanjutnya, Stuart dan James selalu menghabiskan waktu bersama. Mereka tak jarang mengunjungi perpustakaan kecil yang dibangun relawan untuk membaca beberapa buku hasil donasi. Hingga tak jarang, para relawan pengasuh kesulitan mencari mereka yang membaca sampai lupa waktu makan siang.
Beruntung, keadaan perlahan membaik seiring waktu berjalan. Anak-anak yatim yang sebelumnya hanya bergantung pada ada tidaknya sumbangan dari donatur mulai mendapat kehidupan serta pendidikan yang lebih layak. Begitu pula dengan James dan Stuart yang kini menjadi dua anak paling cemerlang di sekolahnya. Meski sampai sekarang -- dan mungkin untuk seumur hidupnya -- Stuart terus bergantung pada alat bantu jantung itu.
Perpustakaan yang sering mereka kunjungi pun kini jauh lebih baik dengan koleksi yang semakin banyak. Di bagian luarnya terdapat tempat-tempat yang bisa digunakan untuk bersantai sambil membaca buku, juga ada beberapa mesin penjual otomatis yang bisa bekerja dengan baik.
"Tumben sekali kau datang kemari tanpa mengajakku," ujar James dengan nada kesal yang dibuat-buat pada laki-laki berambut hazel yang tampak sibuk membaca sebuah buku tebal. "Ini untukmu. Kali ini aku masih berbaik hati memaafkanmu. Tetapi lain kali kau harus membayar," lanjutnya seraya menyodorkan minuman dingin.
Stuart menurunkan buku tersebut hingga senyum tipis di wajahnya terlihat. Ia terkekeh pelan. "Iya, maaf. Karena kupikir kau sibuk dengan anak klub sains. Jadi, aku langsung pergi ke sini tanpa menanyaimu," paparnya lalu meraih minuman dari tangan James tanpa pikir panjang.
"Ah, jujur saja. Aku jauh lebih senang menghabiskan waktu bersamamu daripada membahas hal membosankan dengan mereka. Mereka mana paham dengan impian kita mengubah dunia," keluh James sambil meletakkan punggung pada sandaran bangku hingga kepalanya menghadap langit.
Pemuda bersurai hazel itu tertawa kecil. "Yah, mereka pasti mengira kita sama saja dengan orang dewasa yang gila harta dan jabatan. Sudah kuduga, akan banyak yang salah paham pada impian kita." James menghela napas dalam-dalam. Hening cukup lama. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Oh ya, Stuart. Ada satu hal yang sudah lama ingin kutanyakan." James mengangkat kepalanya yang seperti bertambah berat. "Kita sudah pernah belajar, di pemerintahan yang sekarang hanya ada satu orang yang berhak menduduki kursi kepresidenan. Artinya, kalau kau berhasil, aku tidak bisa mendapatkannya, bukan?"
"Ternyata kau sampai memikirkan itu ya," respons Stuart. "Untuk bisa mengubah dunia, bukan berarti kau harus menjadi yang paling berkuasa di dunia itu sendiri. Lagi pula, pada sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, kan?" dia melanjutkan.
"Ah, iya. Kau benar juga." James tertawa.
"James, jika suatu hari nanti aku memang terpilih untuk menjadi seorang pemimpin, aku punya satu permintaan." Remaja laki-laki berambut pirang itu menoleh dengan wajah serius. "Tolong ingatkan jika aku mulai dibutakan oleh uang dan kekuasaan. Kalau bisa, tampar saja wajahku sekuat tenaga."
James terperanjat dan menatap sahabatnya keheranan. "Oi oi, yang benar saja. Aku mengerti maksudmu. Tetapi itu kan bisa saja dikategorikan sebagai tindakan kriminal."
"Ah, kalau begitu saat awal menjabat, aku akan membuat hal itu sebagai tindakan legal. Walaupun mungkin saja, seluruh dunia akan terkejut sepertimu."
Pemuda bernama James itu berusaha mencerna maksud dari ucapan temannya. Baru setelah beberapa detik kemudian tersenyum lebar. "Kalau begitu, aku juga meminta hal yang sama. Kalau aku yang menjadi presiden, kau boleh melakukan itu padaku nantinya. Janji?" Dia mengangkat jari kelingking.
Stuart melingkarkan jari kelingkingnya sebagai bukti kesetiaan pada ucapan masing-masing. "Ya, kita akan mengubah dunia bersama-sama."
Sore itu mereka habiskan dengan berbagi cerita. Stuart menutup buku kemudian meletakkan di atas pangkuan agar bisa lebih fokus mendengarkan setiap ucapan temannya. Begitu pula dengan James yang begitu semangat memberikan tanggapan pada komentar Stuart atas kondisi dunia saat ini. Hingga tanpa terasa matahari telah tumbang jauh ke arah barat tanpa mereka sadari.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...