Malam sudah sangat larut. Karl berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit. Langkahnya tampak tertatih-tatih. Hampir saja ia tersungkur andai tangannya tidak cepat berpegangan pada dinding. Hatinya menjerit keras. Pria itu sama sekali tidak menangis. Air matanya seolah sudah kering karena terpaksa melihat banyak kematian.
Memang tidak ada satu pun sesuatu yang bisa mencegah kematian seseorang yang sudah tercatat dalam suratan takdir. Akan tetapi, rasa tanggung jawab yang amat besar membuat pemiliknya merasa jika dirinyalah orang paling berdosa di atas dunia. Bahkan jantung sekali pun, rela mereka korbankan demi menebusnya.
Dalam dua kali dua puluh empat jam, pria itu sudah melihat ada belasan pasien yang tak bisa selamat akibat pertolongan yang terlambat. Dia dan para dokter lain tidak bisa apa-apa. Menurut prosedur yang tertulis, tidak boleh ada pemberian obat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium. Hal itu ditakutkan akan menimbulkan efek samping yang justru berakibat fatal.
Jiwa dedikasi yang tertanam dalam dada mereka jelas menolak hal tersebut. Akan tetapi, sekali lagi tidak ada yang bisa mereka lakukan. Protokol yang lebih tinggi melarang mereka memberikan pertolongan sebelum petugas laboratorium angkat bicara. Benar-benar miris. Niat dari hati mereka yang tulus terhalang oleh kerja mesin.
Karl menarik napas berat. Kali ini beban di pundaknya terasa semakin berat hingga tubuhnya tersungkur dan jatuh dengan hanya bertumpu pada kedua tangan yang bergetar. Anak perempuan yang dia tangani pertama kali meninggal dalam hitungan jam karena riwayat penyakit asma yang dia derita. Itu sudah membuat dokter muda itu semakin merasa terpukul.
Dalam dua hari saja dia sudah terkena mental breakdown. Walau tidak ditambah fakta bahwa dirinya tidak pernah istirahat untuk tidur dan makan, dirinya sudah bisa dikatakan sebagai seseorang yang paling cepat mati karena depresi di timnya. Namun sama sekali ia tak memikirkan hal itu. Dia hanya tidak ingin melihat kematian lagi.
Saat ini, keadaan sudah aman terkendali. Beberapa pasien yang telah dinyatakan positif diisolasi secara ketat dan mendapat pertolongan intensif dari dokter yang benar-benar ahli. Tentu itu terjadi setelah puluhan pasien lain meninggal. Sehingga hanya sedikit orang saja yang bertahan hidup.
"Bangkitlah, Nak. Kamu sudah berusaha maksimal." Karl perlahan menoleh demi memastikan suara itu bukanlah delusi yang disebabkan kewarasannya yang mulai menghilang. Matanya membelalak melihat sosok Dokter Eva dengan tatapan lembut menyentuh bahunya seperti seorang ibu yang menguatkan kaki putranya untuk melangkah.
"Maaf, Dokter. Saya masih baru di sini. Belum terbiasa melihat kematian sebanyak itu," ungkap Karl sambil mengubah posisi. Namun, kaki yang terlalu lemas seolah melarangnya untuk berdiri. Jadilah ia hanya duduk bersimpuh di hadapan tenaga medis senior yang beberapa bulan lalu menjadi pembimbingnya.
"Aku mengerti." Dokter Eva berjongkok agar lebih mudah menatap wajah Karl yang terlihat muram dengan tatapan kosong. "Tugas kita terbatas hanya membantu para pasien. Memberikan pertolongan, dan secercah harapan. Terkadang, hal lain yang berada di luar kuasa kita mencegah harapan itu terwujud."
Karl hanya bisa menunduk dalam-dalam. "Saya mengerti," lirihnya.
"Bagaiamanapun, jangan pernah berhenti berharap." Tanpa ragu sedikit pun, wanita paruh baya itu merengkuh tubuh Karl. Sehingga siapa pun yang melihat adegan itu akan mengira mereka adalah ibu dengan anak. "Tanpa bantuan kamu, kami - para dokter senior - mungkin akan kewalahan menangani pasien sebanyak itu."
Pria itu terdiam. Percuma saja karena dirinya hanya mengulur waktu kematian pasien. "Pada awal karirku, aku sudah membiarkan lebih banyak orang meregang nyawa. Menangani pasien di daerah krisis pasca perang bukan hal mudah. Percayalah, kamu sudah melakukannya lebih baik dari diriku yang waktu itu," bisik Dokter Eva menyemangati.
"Tidak perlu merasa paling berdosa, karena tiada yang menyalahkanmu. Faktanya, seorang pahlawan tidak pernah disalahkan atas banyaknya korban di balik perjuangannya. Dan saat situasi ini berakhir, kamu akan melihat orang-orang mengucapkan terima kasih dengan tangis haru. Tapi, itu hanya terjadi jika kita berhenti menyalahkan diri sendiri." Dokter Eva akhirnya mengusap punggung Karl kemudian melepaskan dekapannya.
Karl hanya bisa termenung. Dengan suara samar dia mengucapkan terima kasih kemudian menerima uluran tangan Dokter Eva yang bermaksud membantunya bangkit dan berdiri tegak dengan kaki yang masih lemas. "Orang tua kamu pasti akan sangat bangga, Karl. Tetapi untuk sekarang, bantu kami berjaga di IGD," ucapnya sambil menepuk bahu dokter muda itu.
Pria itu mengangguk mantap. Semangatnya sedikit banyak telah kembali, meskipun hatinya masih terasa kebas kala mengingat tangisan terakhir anak perempuan yang dia rawat. Namun, ia sadar jika bukan saatnya untuk menjadi melankolis. Jika terus mengubur diri di dalam jurang penyesalan, akan jauh lebih banyak korban berjatuhan.
"Dokter, tolong! Teman saya mengalami sepertinya sakit parah." Dokter Eva dan yang lainnya segera memindahkan wanita yang dipapah temannya ke atas brankar kemudian membawanya pergi. Sementara perempuan yang satunya hanya dapat memandang cemas dengan wajah yang tampak pucat.
Karl yang kebetulan berada di sana dan masih mengenakan pakaian medis lengkap menghampiri wanita yang membawa temannya ke rumah sakit untuk melakukan tugasnya. "Jadi, nama Anda adalah Sarah. Bagaimana teman Anda bisa terkena gejala seperti itu? Apa dia pernah melakukan perjalanan ke daerah epidemi sebelumnya?" tanya pria itu sebelum Sarah bertanya lebih banyak mengenai hal yang tidak diketahui dokter di depannya.
"A-anu ..., Dokter. Kami berdua sebenarnya adalah jurnalis. Kebetulan, dia terlihat sakit begitu setelah kembali dari Area 16," jelas Sarah apa adanya tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Area 16?" Karl mengernyit sembari melihat hasil diagnosa sementara dari para senior yang memeriksa pasien di layar tabletnya. "Berita seperti apa yang sebenarnya kalian liput? Apa Anda terlibat dalam sebuah kerumunan?"
"Yah, kami bertugas mengabadikan foto burung-burung migrasi." Jawaban tersebut sontak membuat gerakan jemari Karl terhenti, kemudian manik abu-abunya memandang lamat-lamat wajah orang yang dia wawancara. "Ada masalah apa, Dokter?" Sarah tampak sangat bingung.
"Nona, sebaiknya Anda juga melakukan tes laboratorium," tegas Karl dengan tatapan datar. "Sebelumnya teman Anda pernah kontak dengan siapa saja?" ia bertanya sambil membuka halaman baru, bersiap mencatat nama yang disebutkan.
"Dia sebenarnya orang sedikit tertutup. Dia hanya berbicara dengan rekan satu tim. Jika Dokter bertanya, mereka sekarang sedang menjalankan tugas di tempat lain," terang Sarah. Kalimat itu seolah membuat jantung Karl berhenti berdetak. Namun sebisa mungkin ia tampak rasional.
Ia seharusnya sudah tahu hal itu. Seorang jurnalis pasti akan melakukan perjalanan jauh untuk meliput berita dari seluruh dunia. Namun sekarang, perjalanan itu justru akan membawa masalah ..., bagi seluruh penduduk bumi.
*
11 Desember 2020, 21:35 WITA.
Jadi buat kalian yang bingung ada apa sama Sarah dan temennya, bisa langsung baca chapter "Ninth Light." Sedangkan dr. Karl sama dr. Eva muncul di chapter sebelumnya. Tapi kalo enggak mau, ya sudah.
Jangan lupa vote dan comment 😁.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...