Beberapa hari berikutnya, Celine sibuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di tempat karantina. Selama dua puluh empat jam, mereka tetap diam di dalam sana dengan semua kebutuhan ditanggung oleh petugas terkait. Siapa pun tidak diizinkan keluar kecuali degan izin khusus.
Pada hari-hari pertama itu juga, para siswa akademi melakukan kegiatan belajar dengan menggunakan alat komunikasi yang sudah cukup untuk membuat mereka semua merasa seperti berada dalam satu ruangan dengan teknologi virtual reality yang dipasang dengan mudah pada lensa kontak.
Selama alat tersebut berfungsi dengan baik, sama sekali tidak ada masalah dengan proses kegiatan belajar. Hanya saja kelas tersebut tidak pernah sekali pun terisi lebih dari dua belas orang siswa. Yang semula satu kelas terdiri dari tiga puluh siswa, kini lebih dari setengahnya menghilang seperti telah melebur menjadi debu kemudian lenyap.
"Ah, aku lelah sekali. Kupikir penugasan ini tidak akan menjadi lebih banyak dari hari biasa. Kalau begini, lebih baik kita belajar menggunakan bangunan akademi di permukaan sana," keluh Sharon sambil merebahkan tubuh di atas kursi yang bisa memanjang ke belakang menjadi tempat tidur secara otomatis tergantung gerakan pemakainya.
Celine membuang napas kasar. Tak bisa dipungkiri, otaknya juga terasa seperti mengeluarkan asap karena hal tersebut. "Aku tahu, Sharon. Tapi mau bagaimana lagi? Daripada kita belajar di sana, tetapi korban jiwa terus bertambah," balas gadis itu sambil ikut-ikutan merebahkan diri, menatap langit-langit ruangan yang persis seperti kamar temannya.
Ucapan tersebut membuat Sharon geram. Ia menjambak rambut sebagai pelampiasan. "Argh, aku tidak tahan. Memangnya dengan cara begini pandemi akan berakhir? Masalahnya, dari berita yang kuamati setiap sebelum tidur, pasien terinfeksi terus mengalami peningkatan. Padahal petugas sudah memastikan jika warga sipil yang dikarantina di sini memiliki hasil pemeriksaan yang negatif. Apa pemerintah masih yakin kalau cara ini efektif?!"
Gadis berambut bob itu bangkit perlahan lalu mengedikkan bahu. Ia sudah kehabisan kata-kata. Kalau menyangkut soal sains dan segala tetek bengeknya, apa mau dikata? Sebagai anggota keluarga Johanson yang terkenal dengan peran penting di bidang pengembangan teknologi, Sharon jelas jauh lebih tahu daripada dia.
"Rupanya kalian juga memikirkan hal yang sama denganku." Ucapan tersebut membuat kedua gadis itu terkejut dan lekas menghadap ke sumber suara. Lensa kontak -- yang merupakan bagian dari fasilitas isntalasi karantina -- belum terlepas. Sehingga mereka bisa melihat dengan jelas sebuah bayangan hologram yang perlahan menunjukkan sosok Leon dengan wajah tanpa ekspresi.
Sharon berdecak kesal dengan "kehadiran" teman kecil sekaligus sang maniak teori konspirasi dengar argumen yang baginya sama sekali tidak masuk akal. "Sekarang kau mau membicarakan apa?" dengusnya. Tentu saja itu hanya basa-basi, karena ia sudah tahu apa yang diinginkan lelaki itu lewat wajah seriusnya. Ya, sebuah perdebatan.
"Aku sedang malas berdebat dengan kalian. Maksudku ...." Leon melirik Celine yang menatap penuh atensi. "... denganmu, Sharon." Dengan segera ia meralat ucapannya. Sebab perempuan bermanik biru itu selalu menghargai, dan tidak mungkin menolak argumen seseorang mentah-mentah.
Leon melipat kedua lengan di depan dada. Mendengus kesal karena irama detak jantungnya mulai berubah karena mengingat hal tersebut. Dengan keras ia menepis perasaan aneh yang membuat wajahnya perlahan memerah, dan lebih memilih untuk menunjukkan sikap rasional di depan mereka. "Tetapi kurasa perdebatan itu tidak akan terjadi lagi. Karena kau pasti akan setuju dengan pendapatku."
Sharon berkacak pinggang, menaikkan salah satu alis beberapa sentimeter. "Apa kau sudah menelan parasit yang masuk bersama makan siangmu, Leon? Atau kau baru saja bermimpi aneh, seperti pergi melintasi black hole? Makhluk dari planet mana yang akan percaya kalau kau tidak akan memancing keributan kali ini? Dan kau pikir aku akan dengan bodohnya setuju pada teori tidak masuk akalmu itu?!" ujarnya sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...