32nd Light: Call Him As Soon As Possible

33 13 0
                                    

Manusia terlalu kecil untuk merasakan cepatnya gerakan rotasi bumi, hal itu sudah tidak lagi menjadi hal mengherankan yang dahulu kala sempat membuat orang terpecah menjadi sekte yang berdebat mengenai bentuk planet urutan ketiga dalam tata surya ini. Namun, apakah itu sama dengan Celine yang kini merasa bumi tak lagi berputar?

Sendiri dalam ruang isolasi, tidak sedikit pun dia memikirkan soal berapa ribu detik terbuang sia-sia. Semesta seolah-olah belum puas menyiksa batinnya dengan konspirasi yang menyebabkan ia menjadi yatim piatu, juga kakaknya yang berada antara hidup dan mati. takdir kembali menghadirkan sosok lelaki yang hanya akan mengucapkan selamat tinggal, mengakhiri cerita dengan tragis.

Mungkin berlebihan jika berkata Cyril sudah seperti oksigen yang selama ini selalu ada untuknya. Sehingga, dia tak bisa hidup tanpa pemuda itu. Akan tetapi, Celine sama sekali tidak merasa hidup. Seakan separuh jiwanya telah pergi hingga yang tersisa hanya dada yang terasa sesak.

Cyril adalah rekan genius yang bisa diandalkan, teman kecil yang selalu ceria, sahabat karib, saudara. Dan tak lupa yang terpenting ... cinta pertamanya. Dialah yang membuat Celine menemukan warna baru yang lebih cemerlang daripada cahaya matahari terbit. Dia membuat hormon dopamin dan oksitosin membanjir dalam otak gadis itu, bereaksi hingga menghasilkan rasa yang tak bisa disimpulkan dalam satu kata saja.

Cyril adalah dunianya, tempat yang menjadi poros di mana segala kebahagiaannya berputar. Siapa yang takkan merasa bumi begitu hampa begitu orang yang dicintainya sepenuh hati justru mengatakan bahwa balasan atas perasaan tulus tersebut hanyalah kebencian?

Tidak. Tak ada yang pantas disalahkan. Lagi pula, takdir hanya menjalankan tugasnya, meyakinkan makhluk hidup akan manisnya akhir cerita meski yang ada di jalan menuju masa depan hanyalah badai dahsyat. Kesedihanlah membuat ia buta, dan malah berujung pada masalah rumit dan tidak karuan penyelesaiannya.

Dengan kondisi seperti itu, Celine sama sekali tidak diizinkan bertemu siapa pun, kecuali beberapa alat dengan Artificial Inteligents yang sudah dirancang khusus untuk memantau orang yang ada di dalam ruangan isolasi tersebut. Sehingga, tak heran bila waktu dua kali 24 jam ia habiskan untuk melamun.

Ia sepenuhnya kembali dari dunia khayal saat benda di pergelangan tangan bergetar pelan. Celine melirik pelan, kemudian mengeluarkan airpods yang kebetulan masih ada dalam saku pakaiannya. Dengan suara serak karena terlalu lama menangis, dia merespons sapaan dari si penelepon.

"Halo, Celine. Kau sudah makan, kan?" Gadis itu mengangguk pelan, seolah-olah tidak tahu kalau orang itu tidak akan bisa melihatnya. Dan tentu saja jawaban tersebut bohong. Makanan yang dibawa oleh salah satu perangkat di ruangan tersebut belum disentuh sama sekali, kecuali dua gelas air.

"Kau tidak pernah merasakan gejala apa pun. Kenapa kau malah diisolasi?" Celine masih terdiam. Pikirannya terlalu kacau untuk sekadar mencari tahu alasan mengapa Leon mendadak berubah menjadi begitu ramah hari ini. Berbanding terbalik dengan Cyril waktu itu, seolah-olah kini mereka sedang bertukar raga.

Terdengar embusan napas pelan dari seberang telepon. "Celine, tidak apa-apa kalau kau belum mau bicara. Hubungi kapan saja kau siap, aku akan membantu." Leon benar-benar berubah menjadi lebih lembut. Kalimat sederhana tersebut sukses meruntuhkan kekuatan Celine untuk membendung tangis. Seperti derasnya air mata, dia menjelaskan semuanya hingga dia bisa mendekam dalam ruangan ini.

Lelaki itu mengeraskan rahang. "Keterlaluan. Dasar anak tidak tahu bersyukur. Aku berani bersumpah memukulnya sekarang juga," geram Leon. Isak tangis Celine yang terdengar melalui sambungan alat komunikasi tersebut membuat ia semakin yakin bahwa itu adalah balasan yang pantas bagi orang yang berani menyakiti gadis itu.

[END] We Will See the Sunshine TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang