Siang itu, Sharon memutuskan untuk mengajak squad-nya untuk menghabiskan waktu istirahat di atap bangunan akademi. Alih-alih pergi ke kafetaria, gadis itu rela menahan lapar demi memberi kejutan pada teman-temannya. "Kalian akan menyesal jika tidak mau ikut." Kalimat itulah yang dia gunakan sebagai ancaman.
Sesampainya di tempat itu, ribuan ekor burung yang terbang menuju arah selatan menyambut mata. Tidak hanya satu, tetapi berbagai spesies dari kelas aves dengan warna bak pelangi. Mereka mengepakkan sayap bersama kelompoknya masing-masing. Seperti menonton parade yang diikuti peserta berkostum sewarna.
"Lihatlah. Mereka benar-benar cocok dinobatkan sebagai perlambang kebebasan," ungkap Sharon sambil menunjuk ke arah kawanan burung yang memiliki bulu berwarna kemerahan, seperti iris matanya yang kekurangan melanin. Celine yang baru pertama kali melihat pemandangan seperti itu mau tak mau ikut takjub.
"Setiap tahun, ribuan bahkan jutaan ekor burung bermigrasi setiap bulan Maret dan September. Mereka melakukan itu untuk mencari daerah yang lebih hangat. Karena kebetulan Area 18 ada di daerah Khatulustiwa, maka ibaratnya kita menjadi daerah transit bagi mereka," terang Sharon panjang lebar. Ia sangat antusias, sehingga menjelaskan hal itu berjuta kalipun tidak masalah.
"Wah, rupanya kau tahu banyak ya soal itu," puji Celine.
"Lihat dulu siapa aku. Ini kan Sharon Johanson." Dia mengibaskan rambut hitam berkilau ala iklan sampo dengan senyum bangga, sehingga Leon semakin tak ada minat memerhatikannya.
"Dulu, Kakek suka sekali menyaksikan migrasi burung. Walau aku sedikit ragu apakah matanya masih bisa melihat mereka dengan baik atau tidak. Kata beliau, itu selalu mengingatkan pada sahabat terbaiknya ... yang tewas pada saat perang," terang gadis itu dengan wajah yang berubah sendu.
Celine terperangah. "Apa dulu ... kakekmu seorang tentara?"
"Tidak juga, kok. Sama sekali bukan. Beliau dulunya bekerja di kepada pemerintah untuk memasok obat-obatan serta persenjataan pasukan perdamaian. Saat itu, laboratorium mereka dibom oleh tentara salah satu kubu. Kakek berhasil selamat, tetapi salah satu rekannya yang bernama Isabelle tidak bisa tertolong.
"Perang memang menyisakan luka yang begitu dalam bagi umat manusia. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika harus hidup pada masa itu." Sharon menghela napas dalam-dalam seakan dadanya butuh pasokan oksigen tambahan setelah menceritakan kenangan pahit dunia.
Celine hanya bisa mengangguk-angguk. Dia juga tak bisa membayangkan bagaimana harus hidup di planet yang dalam kondisi kritis pasca Perang Dunia Ketiga. Kehilangan kedua orang tua saja terkadang membuatnya merasa sesak. Terlebih jika harus melihat lebih banyak lagi kematian orang yang disayangi.
"Tapi ... setidaknya Kakek masih dapat menikmati hari tuanya dengan tenang. Menyaksikan burung-burung menikmati kebebasan di langit yang biru, bersama keluarga tercintanya," lanjutnya yang kemudian dibalas dengan anggukan. Celine justru lebih tertarik menghiraukan salah satu teman sekelas yang kehadirannya yang tidak terasa sama sekali.
"Hei, Leon. Kau baik-baik saja, kan? Apa kau lapar karena belum makan siang?" tanya Celine pada teman sekelasnya yang hampir selama satu jam seolah-olah menjadi cosplay patung batu. Ucapan tulus itu pun hanya dibalas embusan napas berat, sehingga Sharon merasa terdorong untuk berkomentar.
"Tidak usah pikirkan dia, Celine. Dia memang seperti itu sejak kemarin, maksudku ... sejak lahir. Mungkin dia punya semacam pre menstruation syndrome yang berlangsung seumur hidup." Sharon terkekeh pelan. Nada sinis dalam kalimat itu sukses membuat tatapan dingin dari orang yang disindir tertuju padanya.
Celine memandangi keduanya bingung. "Apa ini karena masalah kemarin - karena kau tidak mau ikut dengan kami?"
Leon melipat kedua lengan di depan dada, melemparkan pandangan jauh ke ujung cakrawala yang tertutup jarak dan gedung tinggi. "Yah, kurang lebih," sahutnya dingin. Celine mendekati laki-laki itu, bersiap mendengar dengan antusias. Binar matanya seolah berkata 'ceritakan saja padaku'.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...