Pintu masuk rumahnya tinggal beberapa meter lagi ketika Stuart spontan menghentikan langkah dengan jantung yang – secara harfiah – hampir saja berhenti berdetak. Pria itu memicing. Benda berubah lempengan besi berkilat muncul dari berbagai arah hampir menyentuh dan membelah lehernya.
Tantou, senjata dari masa lalu, sudah tak lagi digunakan dan menjadi barang yang sangat langka serta hanya ada di museum. Jika ada yang menodongkannya, terlebih saat malam hampir larut, maka sama sekali tidak ada lagi jalan untuk berpikir positif bahwa orang itu tidak berniat jahat.
Seseorang terkekeh dingin dari arah belakang. Cahaya lampu dari jalanan membuat orang tersebut hanya tampak siluet. “Kau cepat sekali tumbuh dewasa, ya.” Stuart menggigit bibir bagian dalamnya, bersiap memanggil nomor darurat dengan perangkat elektronik dalam saku celana.
“Jangan panggil polisi, atau kami akan membuat keberadaanmu akan lenyap dari peredaran selamanya,” ancam orang miesterius itu seraya berjalan pelan dengan senyum licik. “Selamat datang, John Hayden junior.” Dahi lelaki bersurai hazel itu terlipat heran melihat sosok yang rambutnya sudah memutih itu. Ada masalah apa dengan pria paruh baya yang tiba-tiba memerintahkan sindikat penjahat menodongnya sekaligus membawa nama sang ayah angkat yang meninggal belum lama ini.
“Kau tidak tanya siapa dan dari mana kami?”
Stuart hanya menatap dingin. “Itu tugas polisi dan hakim nanti.”
“Ah, dasar keras kepala,” pria itu mendengkus. “Kami adalah bawahan Tuan John Hayden. Tidak usah berpikir ayahmu adalah bos mafia atau ketua organisasi penjahat busuk kelas kakap, karena beliau lebih daripada itu. Dialah pemimpin kami, yang membimbing kami semua menuju dunia ideal yang sesungguhnya,” terangnya tanpa diminta.
“Anda pikir saya akan langsung berpikir bahwa ayah adalah pemimpin sekte pemuja iblis atau sejenisnya? Sayang sekali. Jika ingin mencari korban yang bisa ditipu dengan lelucon, Anda sudah salah target.” Stuart melirik tantou yang entah mengapa bergerak semakin dekat dengan pembuluh nadinya. “Lagi lupa jika ayah adalah atasan Anda, mengapa orang-orang ini seolah ingin membunuh saya?”
Pria paruh baya itu terdiam cukup lama. “Kau benar,” dia membalas lalu memerintahkan anak buahnya menurunkan senjata dengan isyarat tangan. “Seperti yang kukatakan, kami bukanlah mafia atau semacamnya. Dan memang jawaban semacam itulah yang harus ada dalam otakmu, walau kami jelas-jelas tidak memuja iblis.”
Enggan memberitahu identitasnya, pria itu kembali melanjutkan penjelasan yang sama sekali tidak bisa diterima logika Stuart. “Kau boleh saja tidak percaya sekarang. Tapi asal kau tahu saja. Kau pikir, mengapa Tuan John rela mengadopsi anak yatim dengan penyakit bawaan sepertimu? Tentu saja karena sejak kecil kau mempunyai keinginan untuk mengubah dunia. Tuan John tahu jika umurnya takkan bertahan terlalu lama. Itulah mengapa beliau membutuhkan anak sepertimu yang akan mewujudkan dunia ideal impiannya.”
“Kau boleh saja menolak untuk menggantikan posisi ayahmu di organisasi. Tetapi, ini sudah menjadi takdirmu. Tidak ada pilihan lain. Hanya kau … yang bisa mengubah dunia ini.”
Stuart yang saat itu baru berusia tiga puluh tahun membisu dengan sorot mata yang menyiratkan berbagai hal, sedangkan sebuah skenario dengan cepat terbayang dalam otaknya. “Tentu saja. Akan kuubah dunia ini.”
------x---x------
James menatap langit-langit ruangan kosong itu. Ralat, tempat tersebut sebenarnya tidak kosong. Seperti layaknya desain interior rumah pada umumnya, perabotan diletakkan di bawah lantai dan bisa dipanggil keluar kapan saja. Namun, saat ini pilihannya jatuh pada sebuah meja dengan dua buah kursi sebagai tempat duduk yang nyaman.
Setelah mati-matian berusaha mengatur jadwal, ia akhirnya mendapatkan jatah waktu selama satu jam untuk pertemuan yang sangat rahasia. Sudah dia pastikan sendiri, tidak ada satu pun kamera pengawas ataupun alat perekam yang bisa menyadap percakapan di sana. Kecuali sebuah benda seukuran serangga yang selalu mengikutinya.
Satu-satunya pintu masuk di ruangan itu terbuka. Ia bangkit sembari mematikan seekor mata-mata kecil yang beterbangan di sekitarnya. “Akhirnya kau datang juga, Stuart,” sambutnya dengan perasaan bahagia membuncah dalam hati. Pertemuan mereka di aula gedung walikota waktu itu bisa dikatakan tidak masuk hitungan sebab mereka hanya melempar senyum dari kejauhan tanpa sempat berbincang.
Stuart tersenyum hangat kala melihat kembali secara langsung wajah sahabat yang sudah ia anggap seperti saudara kandung. “Lama tidak bertemu, James.” Dia langsung mengambil tempat duduk yang masih kosong.
“Rasanya seperti bertahun-tahun tidak bertemu. Bagaimana menurutmu?” Masih sama seperti saat di panti, selalu saja James yang membuka percakapan. “Tidak seperti saat di universitas dulu, kita sering saling berkirim e-mail.”
Stuart terkekeh pelan. “Tentu saja. Sekarang kau adalah presiden, pemimpin semua bangsa di dunia ini. Aku mengerti kenapa kau tidak sempat memeriksa e-mail pribadi.” James ikut tertawa. Ada kilau yang sama ketika ditatapnya mata sang sahabat, sesuatu yang masih belum hilang meski beberapa dekade telah berlalu.
“Kudengar kau sendiri juga aktif dalam banyak kegiatan sosial. Sampai dari data yang kuamati beberapa bulan terakhir, tingkat kelaparan dan anak-anak buta huruf semakin turun berkat yayasan yang kau bentuk. Rupanya kau benar-benar mewujudkan impianmu saat di panti. Aku sendiri merasa malu pada pencapaianmu,” balas James tanpa mengalihkan pandangannya. “Ngomong-ngomong, rupanya kau betah juga membujang.”
“Mau bagaimana lagi? Wanita mana yang mau bersama pria tua yang sudah kepala lima sepertiku,” gurau Stuart sambil kembali tertawa lepas, diikuti oleh sahabatnya. “Tetapi aku benar-benar salut kau mampu menjadi single parents setelah istrimu tiada.”
James kembali menanggapi dengan ramah meski kalimat tersebut berhasil membangkitkan kenangan menyakitkan. Namun, dia bukan lagi anak-anak. Ia mengerti sahabatnya itu sama sekali tidak memiliki niat untuk melukai perasaannya. Justru sebaliknya, Stuart ingin menguatkan hatinya yang masih goyah pada memori masa lalu.
Percakapan tersebut tidak berhenti begitu saja. Keduanya mengobrol santai sampai lupa wakti seperti sebelum mereka berpisah, saat mereka duduk berdampingan menatap langit sore yang semakin indah dengan semburat kemerahannya.
Stuart terdiam sejenak. Wajahnya tampak sendu walaupun senyuman belum pergi dari sana. "James, apakah kau akan percaya ... kalau kukatakan bahwa dirikulah penyebab semua bencana ini?"
*
27 Mei 2021, 17:10 WITA
Dua chapter lagi tamat, ya. Jadi, stay tune. 😉
Dan jangan lupa vote dan comment. 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...