Sharon menghempaskan tubuh di atas sandaran kursi. Dia tahu pasti jika penyelidikan ini akan berakhir merepotkan. Terlebih jika harus berdamai dan menyatukan pikiran dengan Leon yang sejak awal sudah jelas-jelas bertentangan. Dan yang terpenting, tidak ada yang bisa menjamin usaha mereka takkan sia-sia.
Mengungkapkan sebuah kosnpirasi di balik peristiwa bisa jadi merupakan hal tergila yang pernah dilakukan sekelompok remaja berusia enam belas tahun dalam catatan sejarah umat manusia. Diterjang oleh keraguan dengan ancaman akan dikeluarkan dari sekolah, yang artinya kehilangan masa depan yang berharga, gadis itu benar-benar tidak habis pikir dengan kegilaan ini.
"Aku sudah cukup jauh. Tak ada jalan untuk mundur," bisiknya pada diri sendiri seraya menegakkan tubuh. Dia menarik napas panjang sebelum memulai pembicaraan serius ini. "Sambil menunggu koneksi Leon kembali pulih, tolong dengarkan, Celine. Ada hal penting yang ingin kujelaskan tentang anak laki-laki bernama Sebastian itu," ujarnya seraya mengambil sesuatu di dalam saku baju.
Sementara Celine tetap duduk manis, persis seperti posisi saat mengikuti pelajaran di kelas. "Kau tahu apa ini?" Mulutnya sedikit ternganga, kemudian perlahan menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Jika yang diminta adalah jawaban pasti, maka dirinya tidak punya sama sekali.
Perempuan itu mengedikkan bahu. "Yang aku tahu, tentu saja itu adalah pil. Tetapi kalau kau bertanya kandungannya apa, aku ... tidak tahu pasti," papar gadis itu apa adanya, sesuai dengan apa yang ada di benaknya. Tanpa diduga, Sharon justru memasang raut wajah puas.
"Secerdas apa pun manusia, belum ada yang bisa memastikan kandungan pada pil hanya dengan melihat sekilas. Aku berspekulasi pil ini adalah barang sangat dibutuhkan oleh Sebastian. Dan pada satu kesempatan, aku mencurinya dari laki-laki itu. Jadi, langsung kuperiksa di laboraturium pribadi keluarga. Diluar dugaanku, ini ...."
Baru saja Sharon hendak menjelaskan bagian terpenting dari serangkaian investigasi tersebut, alat komunikasi mereka mengeluarkan semacam notifikasi yang menandakan panggilan masuk. Gadis itu kembali menarik napas dalam-dalam dan segera memasang lensa kontak serta airpod.
Bayangan hologram Leon kembali terlihat jelas seperti yang terjadi lima menit sebelumnya. Yang sedikit berbeda, wajahnya kini tampak seperti orang yang menyimpan dendam kesumat. Dia berdecak kesal. "Yah, ada sedikit masalah barusan. Tetapi lupakan saja. Aku bisa mengatasi ini sendiri."
"Katakan saja apa masalahmu? Jangan berlagak seolah kau bisa mengatasi semuanya." Sharon melipat kedua lengan. Dia memang tidak mau membuat masalah akhir-akhir ini. Tetapi memastikan bahwa Leon tidak melakukan hal-hal aneh tetap menjadi kewajiban yang melekat pada dirinya.
Pemuda itu berdecak, mengembuskan napas kasar. "Anak pembawa masalah itu kini satu ruangan denganku. Entah bagaimana caranya. Yang jelas ini membuatku semakin yakin dengan kebusukan yang terjadi di balik layar." Meski sudah berusaha berbicara dnegan suara sekecil mungkin, tetap saja Sebastian yang baru keluar dari kamar mandi menatap tajam ke arahnya.
Sharon terlonjak dari kursi. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan berbagai emosi yang bercampur sampai tidak bisa disimpulkan dengan satu kata. "Maksudmu ... Sebastian Hoover?!" Leon yang sedikit tersentak mengangguk pelan. Telinganya terasa sakit karena lupa mengaktifkan fitur volume adaptif pada airpod.
Celine mengernyit. Seingatnya, Sharon selalu berusaha mati-matian membela mereka dengan menentang semua tindakan gila Leon, dan menyuruh berhenti berasumsi aneh-aneh. Tetapi sekarang, dia justru tampak begitu terkaget saat mendengar frasa yang digunakan untuk menggantikan nama lelaki oriental itu.
"Memangnya ada masalah apa, Sharon?" Mereka berdua secara hampir bersamaan menanyakan hal tersebut. Karenanya, Leon segera memalingkan wajah dari Celine, lalu berdeham pelan. Mengapa juga situasi canggung harus muncul saat pembicaraan serius seperti ini?
Sharon memandangi keduanya sekilas. Ia menggeleng kemudian kembali duduk di tempat semula dengan salah satu kaki terangkat di kaki yang lain. "Tidak, ada yang ingin kukatakan pada kalian tentang anak itu. Tetapi kau saja duluan, Leon. Yang terpenting, jelaskan mengapa kau bisa yakin jika anak itu adalah penyebab masalah ini." Ucapan tersebut Leon ingin segera menampar diri sendiri untuk memastikan itu bukan mimpi.
"Yah, bukankah sudah jelas? Kasus positif di Area 18 awalnya cukup terkendali. Tetapi semenjak anak itu bersama beberapa orang lainnya datang ke akademi, mulai banyak yang ikut terjangkit. Dan aku sudah melihat ia memiliki gejala gangguan pernapasan dengan mata kepalaku sendiri.
"Dari data yang kukumpulkan, beberapa orang yang tertular memiliki riwayat kontak dengan anak itu. Apa itu belum cukup menjadi bukti akan kecurigaanku?" papar Leon. Sharon sebagai orang yang meminta penjelasan itu hanya mengangguk pelan. "Hanya saja aku tidak mengerti bagaimana bisa anak itu bisa bertahan lama, dan sembuh dari infeksinya dalam waktu singkat. Sehingga dia bisa lolos dari ruang pemeriksaan."
"Aku senang kau menyadari keanehan itu." Perempuan bermanik merah mengeluarkan bungkusan pil yang semula dia tunjukkan pada Celine. "Tetapi semua akan menjadi masuk akal sekarang. Kuharap ini cukup menjelaskan semua padamu," ujarnya dengan tatapan dingin.
Celine tertegun. "Oh ya, kau belum menjelaskan padaku. Apa kandungan dan fungsi pil itu?"
Leon memerhatikan penjelasan teman kecilnya dengan saksama. "Ini adalah pil yang kuambil diam-diam dari bawaan Sebastian. Karena penasaran, aku pun menyelidikinya di laboratorium." Sharon meremas bungkusan itu setelah cukup lama terdiam. "Ini adalah antihistamin."
*
2 March 2021, 11:30 WITA.
Stay Healthy, Everyone.
Jangan lupa vote dan comment 😁.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...