Epilog: There is Always a Hope in The Sorrow

77 16 0
                                    

Cyril menarik napas panjang. Berbagai perasaan -- termasuk haru -- bergumul dalam dada ketika melihat data yang menunjukkan jika pasien yang sebelumnya dinyatakan terinfeksi mulai sembuh satu-persatu, hingga kasus positif dinyatakan nol. Tentu saja itu adalah pencapaian paling membahagiakan, walaupun tidak sedikit juga yang sudah telanjur dijemput malaikat maut.

Berita kini menunjukkan Menteri Kesehatan yang menyampaikan pidato bahwa keadaan sudah relatif aman, terutama Area 18 yang sementara ini menjadi satu-satunya area yang diperbolehkan lepas dari status isolasi. Akses untuk naik ke permukaan telah dibuka. Akan tetapi, siapa yang tertarik untuk pergi ke kota yang hampir mati pada saat dini hari. Setidaknya, itu yang Cyril pikirkan.

Laki-laki itu mengusap wajah yang tampak semakin lelah. Hampir lupa kalau ia terjaga semalam suntuk hanya berbekal beberapa gelas air. Padahal itulah yang menyebabkan dia berencana untuk melunasi semua waktu tidurnya yang tergadaikan saat sudah diperbolekan pulang.

Akhirnya, semua telah berakhir. Ya, semua kecuali janjinya waktu itu. Sekarang, ‘besok’ yang ia maksud waktu itu sudah tiba. Matahari kembali akan tersenyum melihat manusia yang menolak mati bangkit dan liang kuburnya. Serta tidak ada larangan di area mereka untuk memakai elevator dan menghirup udara bebas.

Namun, tentu saja bukan itu masalahnya. Bukan juga karena ia sudah telanjur mengantuk dan ingin segera menenggelamkan diri ke alam mimpi yang dirindukannya. Akan tetapi, Celine. Setelah semua hal kejam yang dia lakukan dengan mengatasnamakan gadis itu, akankah maaf masih tersisa untuknya, ataukah kebencian telah mengakar terlalu dalam hingga mencabutnya dengan paksa akan menyiksa jiwa raga.

Itulah hal penting yang sama sekali tak pernah dia pikirkan. Selama hampir minggu mengembangkan vaksin milik Luna yang telah sempurna 99 persen, tidak sedikit pun ia mendapat ancaman atau intimidasi meski telah bersiap-siap untuk mati. Namun, dengan keadaannya sekarang, dia malah seperti menjadi seorang pengkhianat yang tak pantas hidup.

Dia melirik lemah ke sudut kiri bawah layar. Jam hampir menunjukkan pukul empat pagi. Tanpa pikir panjang dia bangkit menuju elevator tepat di sebelah laboratorium, kemudian turun dua lantai. Meski perang dahsyat dalam kalbunya belum juga berakhir, dia memilih untuk menjilat ludah sendiri tanpa berpikir dua kali.

Sampailah di ruangan dengan tulisan Subyek1154 pada pintunya yang sedikit terbuka. Dia tidak menemukan siapa pun melainkan seorang petugas yang tampak tengah membereskan beberapa peralatan. “Dia pergi ke elevator sekitar tiga puluh menit yang lalu.” Itulah jawaban yang didapat ketika bertanya pada petugas itu.

Cyril tersentak. Elevator? Apa itu artinya Celine sekarang sudah pergi ke permukaan? Apa yang dia lakukan di sana, menunggunya? Pemuda itu segera menggeleng, membuang jauh-jauh asumsi tak berdasar yang entah bagaimana caranya bisa masuk ke dalam sel-sel neuron otak yang telanjur letih.

Tanpa babibu, dia berbalik meninggalkan petugas yang keheranan melihatnya yang seolah hampir kehilangan kewarasan dan berbicara pada diri sendiri. Dia kembali melangkah dan menekan angka paling atas yang akan membawanya ke permukaan. Cyril berpikir ini adalah kesempatan untuk memperbaiki kesalahpahaman Celine, walau sangat kecil probabilitas dirinya masih diterima.

Kota terlihat begitu gelap. Matanya mencoba menerawang dengan dibantu sinar bulan yang tersisa separuh ditelan bayangan bumi serta sedikit penerangan di depan pintu keluar tempat karantina. Di kota seluas ini, dia tak bisa tahu sejauh apa Celine mampu berjalan pergi selama tiga puluh menit. Mengecek layanan lokasi sepertinya tidak akan begitu membantu dengan jaringan internet di permukaan yang belum sepenuhnya pulih.

Di antara harapan yang hampir sirna, mata Cyril seketika membulat sempurna ketika layar hologram kecil di pergelangan tangannya menunjukkan lokasi persis di mana gadis itu sekarang. Tidak jauh dari tempatnya sekarang. Dengan sisa tenaga yang tersisa, ia memaksa diri berlari menuju salah satu gedung di arah selatan.

[END] We Will See the Sunshine TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang