Seperti biasanya, kafetaria sangat ramai oleh para siswa pada saat jam istirahat. Setelah beberapa hari tidak melakukannya, kini mereka berempat akhirnya bisa kembali makan siang bersama di sana. Seperti yang lainnya, mereka tampak sangat menikmati waktu kebersamaan tersebut.
"Kau seharusnya ikut pergi bersama kami waktu itu. Pemandangannya sangat menakjubkan. Tak pernah kusangka migrasi burung akan seindah itu," ungkap Celine antusias sambil menarik lengan seragam Cyril seperti anak kecil. "Bukankah begitu, Sharon?"
Sharon yang sedang meneguk jus buah yang dia bawa dari rumah hampir tersedak. "E-eh, ya. Tentu saja," sahutnya canggung. Tidak satu pun orang di meja itu yang sadar akan perubahan ekspresi yang terlihat di wajah gadis itu setelahnya. Tak terkecuali Celine yang masih sibuk bercerita banyak hal pada teman kecilnya. Ia menghela napas berat. Kenapa ... harus ada perasaan seperti ini? Padahal Celine itu juga teman baikku.
"Kalau tidak salah, Sharon juga sempat merekam pemandangan itu, kan?" Untuk kedua kalinya, gadis bermanik serupa darah segar itu hampir tersedak. Dia memaksa ujung bibirnya untuk terangkat kemudian mengangguk patah-patah. "Kalau begitu, bisa tolong kirimkan file-nya padaku? Sepertinya Cyril juga ingin itu untuk menggantikan momen kemarin."
"Sharon, aku minta tolong, ya," senyum laki-laki itu. Raut wajah yang tanpa sadar selalu membuat hati Sharon luluh setiap melihatnya, sekaligus mengirimkan perintah pada otak untuk menuruti apa pun yang dia katakan. Dia melirik Cyril yang dengan senang hati menerima makanan yang ditawarkan perempuan di dekatnya. Pemuda yang selalu tampak sangat ceria. Namun, yang menerima semua perhatian itu ... tak lain adalah Celine.
"Baik, bukan masalah," sahutnya dengan senyum paksaan. Bahkan, kalimat itu tak dapat terdengar karena tenggelam di antara kebersamaan kedua sahabat kecil itu. Hatinya sungguh perih, hangus terbakar cemburu.
Sementara itu, Leon yang juga berada di meja itu memilih untuk menganggap pembicaraan tersebut tidak ada sambil mencomot kentang goreng dari kotak bekalnya satu persatu. Entah karena sudah tahu dirinya hanya akan mengganggu kesenangan yang lain, atau karena hal lain, dia memilih untuk membisu sambil melemparkan pandangan sedingin es pada sosok di ujung ruangan.
Namun, beberapa saat kemudian dorongan dalam hati Leon memilih untuk bangkit dan meninggalkan kotak bekalnya di sana. "Maaf, aku pergi lebih dulu. Ada hal penting," ujarnya tanpa menoleh. Ketiga temannya pun hanya bisa memandang punggungnya penuh tanda tanya.
"Ah, Leon! Tunggu seb-"
"Nanti kalau kalian selesai, tolong bawakan kotak itu ke kelas," sahut Leon dingin. Alih-alih berhenti, dia justru mempercepat langkah hingga kemudian menghilang di balik kerumunan. Sedikit pun tidak tampak perasaan bersalah karena meninggalkan Sharon yang amat sangat kesal padanya.
"Tsk, dasar aneh. Leon bodoh, kau masih saja seperti anak kecil," geram Sharon sambil mengepalkan kedua tangan seolah ingin meninju wajah sang maniak teori konspirasi saat itu juga.
------x---x------
Sementara di tempat lain, Sebastian yang baru saja menyelesaikan urusannya berniat pergi ke kafetaria. Setelah beberapa hari berlalu, dia mulai bisa menyesuaikan diri dengan kebiasaan orang kota. Persis seperti yang dikatakan Carla. "Ah, entah kenapa aku tiba-tiba malah ingin segera pulang," gumamnya.
Akan tetapi lelaki itu dikejutkan dengan keberadaan para gadis yang menghalangi jalannya di depan pintu kelas. "Tuan Muda Sebastian Hoover, kami sudah menunggu Anda lama sekali!" ujar mereka semua berbarengan. "Kami akan siap melayani Anda, kapan pun," mereka melanjutkan.
"E-eh?" Dia mengernyitkan dahi. Bulir-bulir keringat mulai muncul di dahinya ketika menyadari begitu banyaknya siswi yang mengerubungi. Dalam hati ia berumam sungguh aneh para gadis kota jika dibandingkan tempat tinggalnya. Dirinya yang hanya anak remaja biasa malah diperlakukan layaknya seorang pangeran dari negeri dongeng. "Ka-kalian ini ... sebenarnya kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...