Sementara itu di salah satu ruangan di lantai lima, Kepala Akademi sedang melakukan sebuah perbincangan serius dengan sahabat lamanya yang kini juga menjabat sebagai dewan hubungan masyarakat dari Akademi lain. Ditemani secangkir kopi hangat, mereka berbicara mengenai hal-hal penting, seperti yang tertera di layar tablet milik mereka.
"Maaf atas keterlambatan ini. saya seharusnya ikut mengantar anak-anak itu kemarin. Jadi sekarang, saya mempercayakan tiga siswa dari Akademi kami, sekaligus untuk melakukan studi banding di sini selama dua minggu. Saya berharap Anda dan para pengajar di sini mampu membimbing mereka sampai pertukaran pelajar ini selesai," terang lelaki berkumis tipis yang merupakan perwakilan yang diutus dari salah satu akademi di Area 01.
Pria yang satunya terkekeh. "Tidak masalah, Billie. Lupakan saja sikap formalmu itu. Kau ini, seperti kita tidak pernah satu universitas saja." Dia mencoba bergurau untuk mencairkan suasana yang lama-kelamaan terasa semakin kaku. "Jangan khawatir. Mereka bertiga akan mendapat perlakuan yang baik dari akademi. Bahkan jangan salahkan aku kalau nantinya mereka tidak mau pulang."
Laki-laki yang dipanggil Billie itu ikut tersenyum tipis. "Ternyata kau masih bisa bercanda seperti dulu, Luke. Ingat, usiamu tidak muda lagi," balasnya.
Kepala Akademi kembali terkekeh. "Jangan salah. Sifat humoris ini membuatku terhindar dari penyakit jantung dan stroke," sahutnya santai. Mau tak mau, Billie mengeluarlan tawa pelan yang sedari tadi ia tahan. Ternyata sampai usianya menginjak lima puluh tahun, temannya itu masih saja menganut pemahaman orang satu abad sebelumnya.
Pria bernama Billie itu melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Baiklah, aku harus segera pergi. Tolong tanda tangani perjanjian ini. Aku harus segera pergi sebelum pesawat yang dipesan rekan-rekan yang lain berangkat," pintanya seraya menyodorkan tablet serta stylus pen pada Kepala Akademi.
"Baik, sudah. Tetapi sebelum kau pergi tolong habiskan kopimu. Koki terbaik di sini susah payah memilihkan kopi terbaik untuk kita. Jangan sampai dia kecewa dan mengajukan surat pengunduran diri," selorohnya seraya mengembalikan kedua benda di tangan kepada sang pemilik.
Billie kembali memberikan respons yang sama pada gurauan sahabatnya, sebuah senyum tipis. Tanpa menunggu lebih lama, dia segera menghabiskan cairan hitam yang masih tersisa setengah dalam cangkir di hadapannya. Kepala Akademi tampak memandang temannya puas, entah karena apa.
"Baiklah, Luke. Aku tak punya banyak waktu. Mungkin kita bisa berbincang santai lain kali saja." Pria itu mengulurkan tangan. Akan tetapi sesaat sebelum telapak tangan Kepala Akademi menyentuhnya, dia menariknya kembali untuk menutup mulut akibat reaksi bersin yang terjadi tiba-tiba.
Hal itu sontak membuat raut wajah pria di hadapannya berubah khawatir. Terlebih ketika mengingat temannya dulu memiliki ketahanan fisik yang sangat kuat dibanding anak seumuran mereka. "Hei, kau tidak apa-apa? Kalau kau sakit, aku bisa mengantarmu ke rumah sakit sekarang juga," tawarnya.
Tawaran itu hanya disambut dengan sebuah gelengan lemah. Billie kembali mengulurkan tangan dengan alasan terburu-buru. "Aku tidak apa-apa, Luke. Aku hanya belum beradaptasi dengan cuaca di sini. Sangat berbeda dengan rumahku," katanya kemudian berjalan keluar ruangan, tanpa berbalik lagi.
------x---x------
"Leon, kita perlu bicara!" Seruan itu membuat seluruh pasang mata tertuju pada lelaki itu. Seisi kelas langsung heran setengah mati dibuatnya. Akan tetapi tidak berlangsung lama, mereka kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing tanpa memedulikan apa yang sebenarnya diinginkan pemuda yang berdiri di ambang pintu.
Mata hijau milik Cyril mengelilingi seluruh ruangan demi mencari keberadaan orang yang dia panggil. Yang aneh, siswa paling eksentrik seantero akademi itu tak menampakkan batang hidungnya. Setelah selama hampir tiga menit tak menemukan orang yang dia maksud, lelaki itu berjalan menuju salah satu bangku yang terletak paling ujung.
Dia ragu-ragu mendekati gadis berambut hitam pekat yang tampak sedang berhadapan dengan suasana hati yang buruk. "Ergh, Sharon. Apa kau tahu kemana Le-"
"Tidak usah tanya. Aku juga tidak tahu kemana anak itu pergi melakukan 'misi' anehnya. Dasar keras kepala! Aku sudah tidak mau tahu apa yang terjadi padanya setelah ini. Yang jelas, aku sudah lelah menasehati dia. Lagipula aku bukan ibunya!" cerocos gadis itu. Mata merah darah membuat ia tampak menjadi semakin menyeramkan, bahkan meski tak bisa mengeluarkan sinar laser.
Mereka berdua tersentak dengan reaksi Sharon dan hanya bisa memandang horor dengan keringat yang membasahi kening. Gadis bersurai hitam tersebut mengatur napas yang terengah, memicing ke arah mereka. "Kenapa kalian memandangku begitu, hah?! Kalian pikir aku ini nenek tua pemarah yang tinggal di dekat akademi?"
Celine meneguk ludah. Bahkan teman kecilnya yang biasa menghadapi situasi dengan tenang hanya bisa terbungkam. Melirik ekspresi Sharon yang sekarang persis sama seperti wanita tua itu membuat dia ragu untuk menenangkan. "Ergh ... kami t-tidak bermaksud be-begitu ..., Sharon." Dia melambai-lambaikan tangan yang gemetar. "B-bisa kau jelaskan ... apa yang terjadi sebelum kami datang?"
Sharon menarik napas dalam-dalam. Menopang dagu sambil menerawang langit biru dari balik dinding kaca. "Anak itu, tidak mau berhenti menjelaskan teori-teori aneh sejak pagi. Terlebih tentang para siswa yang ikut studi banding. Aku sudah berusaha menghentikan. Tetapi dia terlalu keras kepala," kesalnya.
Celine dan Cyril saling berpandangan, lalu serempak melirik Sharon yang masih bad mood. "T-tetapi ... di mana dia sekarang?" laki-laki itu memberanikan diri untuk bertanya.
"Entahlah." Sharon mendengus kesal, terdiam cukup lama kemydian melanjutkan ucapan. "Dia berkata akan menyelidiki mereka. Terutama anak bernama Sebastian itu."
*
10 November 2020, 09:50 WITA.
Jangan lupa vote dan comment 😊.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...