4th Light: That Memory is Like a Sunflower

93 25 52
                                    

Di tempat yang cukup jauh dari Area 18, seorang gadis hanya bisa berbaring di atas ranjang rumah sakit. Selang-selang medis yang menempel di tubuh layaknya tentakel gurita raksasa sudah mulai dilepaskan satu persatu. Kini, dia hanya bisa memandang kosong hamparan lahan hijau yang tepat berada di belakang ruang rawat.

Meskipun gadis itu bisa dinyatakan negatif dari diagnosis dokter -- yang sempat membuatnya terjaga di malam hari setelah mendengarnya -- dia tidak lebih dari seorang pasien yang belum pulih seperti sedia kala. Lamunannya langsung terputus begitu mendengar suara pintu yang terbuka perlahan. Senyum pun terkembang saat memandang wajah seseorang yang berjalan mendekat.

"Sudah kuduga kau akan datang hari ini, Sebby," kata gadis itu. Sebby adalah nama panggilan khusus yang dia berikan untuk Sebastian. Alasannya tentu saja karena nama depan itu sangat panjang dan sulit digunakan sebagai nama panggilan.

Pemuda itu adalah temannya sejak masih duduk di bangku akademi dasar. Awalnya mereka tidak sengaja bertemu karena sama-sama menyukai kegiatan berkebun. Namun siapa sangka, keduanya menjadi semakin dekat seiring waktu berjalan.

"Tentu saja, Carla. Kau pikir aku tidak senang mendengar kabar itu? Aku sampai dianggap gila oleh pengguna jalan yang lain saat menerima pesan dari ibumu tadi malam," sahut laki-laki yang merupakan keturunan ras oriental itu. Carla tersenyum simpul, melirik lengan yang beberapa menit sebelumnya ditempeli beberapa selang.

"Kau mau berjalan-jalan sedikit? Jika terus-terusan di dalam seperti ini, kondisimu bisa semakin memburuk," tawar Sebastian sambil menggaruk leher yang tidak gatal, sedikit ragu. "Selain itu, ada hal yang ingin kusampaikan padamu." Tangannya mengenggam erat ujung meja di sebelah ranjang hingga menimbulkan jejak-jejak kemerahan.

Tingkah aneh lelaki itu membuat Carla tidak bisa menahan diri tertawa geli. "Iya, tentu saja. Kenapa harus khawatir begitu?" Pandangannya kembali teralihkan pada jendela yang memperlihatkan panorama alam yang terhampar luas.

Setelah mendapat respons, Sebastian membantu temannya turun dari tempat tidur. Menuntun langkah Carla yang tertatih-tatih perlahan keluar area rumah sakit. Tujuannya sudah pasti kebun bunga matahari tempat mereka pertama kali bertemu sembilan tahun yang lalu.

Sebastian tampak benar-benar serius dengan niatnya. Dia bahkan rela berdebat panjang lebar dengan seorang petugas hanya agar bisa membawa perempuan itu keluar rumah sakit untuk melihat bunga matahari. Untunglah, Ibu Carla yang merupakan dokter senior dan kebetulan sedang beristirahat membantu bernegosiasi.

"Mereka hanya pergi ke kebun di depan rumah sakit." Begitulah ucapnya.

------x---x------

"Hei, kau juga suka bunga matahari juga ya?" Ucapan anak itu mengejutkan laki-laki dengan poni lurus menutupi dahi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hei, kau juga suka bunga matahari juga ya?" Ucapan anak itu mengejutkan laki-laki dengan poni lurus menutupi dahi. Gadis kecil itu menyeringai kecil tanpa rasa bersalah. "Panggil aku Carla," katanya sambil mengulurkan tangan. Ia memandang heran pada lawan bicaranya yang malah berusaha sembunyi di balik batang bunga matahari yang masih setinggi mereka.

[END] We Will See the Sunshine TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang