Celine sangat heran melihat sepasang sepatu yang seharusnya belum ada di atas rak sebelum pukul enam sore. Tanpa pikir panjang, dia melangkah menuju dapur untuk memastikan dugaan itu. Ternyata benar, kakaknya pulang jauh lebih awal entah karena alasan apa.
"Kak Luna?" katanya dengan dahi berkerut. Yang merasa diri terpanggil tampak sedikit tersentak kemudian menoleh cepat. Keheranan di dalam benak Celine bertambah besar ketika melihat reaksi aneh dari wanita muda itu. "Tumben sekali Kakak pulang secepat ini. Ada apa ya?"
Luna menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Tentu saja apa yang dilakukannya sekarang amat membingungkan. Dia memasak makan malam dengan pakaian rapi dan super formal seperti wanita karier yang hendak pergi bekerja, bukan pakaian santai yang biasa dipakai di rumah. Benar-benar berbeda dari kebiasaan.
"A-ah, Celine. Kau sudah pulang ya?" tanya Luna basa-basi. "Yah, aku sengaja pulang lebih awal. Lagipula tidak ada yang bisa dilakukan di laboratorium. Mungkin sekali-sekali aku juga perlu menemanimu melihat matahari terbenam dari rooftop," dalihnya. Wanita itu diam-diam bertepuk tangan pada diri sendiri. Tak disangka ia punya kemampuan terpendam untuk membuat alasan meyakinkan secara spontan.
Celine mengangguk percaya. Tentunya itu sudah cukup untuk mengobati rasa kesal pada Cyril yang selalu sibuk dengan riset atau apalah namanya itu. "Baiklah, cepat ganti pakaian. Aku sudah menyiapkan makanan kesukaanmu," ucap Luna ramah. Mendengar hal itu, adiknya segera balik kanan tanpa disuruh dua kali.
Luna menarik napas panjang. Dia sedikit menyesal karena terpaksa berbohong pada adiknya sendiri. Ada banyak sekali hal yang bisa dilakukan di laboratorium. Terlebih dengan bertambahnya angka kematian akibat epidemi flu burung di berbagai Area, semua sibuk meneliti virus tersebut.
Namun, dia memutuskan untuk meminta izin agar bisa pulang lebih awal. Ada hal tak kalah penting yang harus dilakukannya bersama Celine, dan tidak bisa ditunda satu hari pun. Di masa-masa seperti ini profesi yang dijalaninya tentu merupakan salah satu pekerjaan paling mematikan. Ya, siapa yang bisa menjamin dirinya masih bisa melihat matahari terbit esok pagi?
Diam-diam, Luna mengeluarkan botol kaca kecil berisi cairan bening dari saku kemeja putih yang dia kenakan kemudian membuka segel. Tanpa pikir panjang, menenggak isinya sampai habis. Namun ia tidak sadar, Celine melihat semua itu secara kebetulan.
"Ah, cepat sekali kau selesai berganti pakaian," kata Luna sambil membawa mangkuk berisi sup kesukaan Celine lalu meletakkannya di atas meja lebar yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Meja makan yang menyimpan sejuta kenangan bersama kedua orang tuanya.
Uap yang mengepul dari kuah sup yang begitu jernih membawa serta aroma rempah yang digunakan sebagai penyedap rasa. Semua itu membuat Celine lupa akan segalanya dan segera menyantap makanan tersebut. Luna tersenyum tipis seraya menyodorkan gelas berisi air lalu menarik kursi tepat di depan Celine.
"Celine, aku benar-benar minta maaf," sesal wanita muda itu dengan suara lirih. Akan tetapi, kesunyian membuat telinga Celine yang peka dengan mudah menangkap gelombang suara itu. "Aku hanya tidak ingin kehilangan dirimu," lanjutnya seraya mengepalkan kedua telapak tangan.
Celine langsung berhenti makan meski perutnya masih merengek minta diisi, dan bau rempah-rempah terus saja menggoda. Gadis berambut bob itu terdiam memandangi kakaknya yang belum juga menyentuh sendok sedari tadi. "Minta maaf untuk apa, Kak?" tanyanya sambil memiringkan kepala.
Luna yang tersentak kembali berpikir keras guna menemukan alasan masuk akal dan mudah diterima adiknya. Dan yang terpenting, bisa menyembunyikan maksud sebenarnya dari kalimat itu. "Maaf, kalau supnya tidak terlalu enak. Hanya itu batas kemampuanku," katanya sambil tertawa kecil.
"Kata siapa? Jangan-jangan dari tadi Kakak belum sempat mencicipi, ya? Masakan Kakak enak sekali," puji Celine sambil menyendok kuah sup. "Persis seperti masakan Ibu," lanjutnya. Pikirannya benar-benar terfokus pada makanan, sampai tidak sadar akan perubahan ekspresi Luna yang sangat drastis.
Luka lama yang belum sembuh sejak peristiwa hari itu kembali membuat Luna merasa dadanya tertusuk pisau. Ia mendesah panjang. Percuma saja, kebohongan apa pun tidak pernah bisa menyembunyikan rasa perih yang tak kunjung hilang. Akan tetapi, sebisa mungkin ia menahan air mata agar Celine tidak ikut sedih.
"Aku ... benar-benar minta maaf. Maafkan aku yang tidak bisa menggantikan posisi Ibu dan Ayah untukmu," ucapnya lirih sambil mengusap setitik cairan bening yang lolos dan tak dapat dibendung pelupuk mata. "Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, sampai jarang bisa menemanimu sepulang dari akademi." Tanpa sadar, sejak tadi wanita itu sudah mengganti kata 'Kakak' yang merujuk pada dirinya dengan 'aku'.
Celine menghentikan aksi menyendok kuah sup, kemudian mengulas senyum terbaik untuk kakaknya. "Kenapa Kakak harus minta maaf? Aku masih sangat bersyukur karena masih memiliki Kakak yang menemani," balas gadis itu. Luna tertegun. Raut bahagia bercampur heran tak dapat ia sembunyikan.
"Lagipula, Kakak kan bekerja untukku. Kalau tidak, bagaimana kita hidup?" lanjut Celine ringan tanpa mengerti maksud sebenarnya dari ungkapan penuh penyesalan itu.
Luna meneguk saliva yang tanpa sadar sudah memenuhi rongga mulut. Perkataan sang adik membuat hatinya tersenyuh. Seperti diterpa embusan angin menyejukkan setelah berjalan di bawah matahari yang terik. "Terima kasih," gumamnya sendu seraya mengusap mata yang kembali basah.
Senyuman senang kembali terkembang di wajah Celine ketika melihat Luna yang menjadi tampak lebih lega dan mulai menyendok sup bagiannya dan melupakan untuk beberapa saat kesedihan yang mengganggu momen makan malam - yang mengalami perubahan jadwal sementara. Jika diingat lagi, jarang sekali mereka bisa menghabiskan waktu sore seperti sekarang.
Celine mengambil gelas yang terletak tepat di sebelah mangkuk, kemudian meneguk air di dalamnya sepertiga bagian. Gadis itu merasakan sesuatu yang aneh di lidahnya mengernyitkan dahi. "Ada masalah apa, Celine?" Luna yang melihat itu menjadi kebingungan, lalu bertanya.
"Mengapa air minum ini rasanya sedikit aneh?" keluh Celine. Matanya menerawang jernihnya air demi mencari tahu penyebab munculnya rasa aneh itu.
Luna ikut meneguk air minumnya. "Tidak ada yang aneh. Mungkin hanya perasaanmu saja," ujarnya. Itu bukan hal mengherankan. Celine memang paling peka mengenai rasa makanan, seperti ayah mereka dulu.
"Benarkah?" tanya Celine memastikan sambil mencoba mengendus bau air di gelasnya. Karena tidak menemukan aroma aneh, ia pun kembali meminumnya sampai habis walaupun tidak bisa mengetahui secara pasti rasa apa itu.
"Celine, aku benar-benar minta maaf."
*
24 November 2020, WITA.
Aku baru sadar kalo mystery/thriller dengan science fiction di-mix bakal jadi se-greget ini 😁.
Jangan lupa vote dan comment 😊.

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] We Will See the Sunshine Tomorrow
Science Fiction"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya matahari bagi gadis itu. Virus H5N1 menyebabkan pandemi pada abad ke dua puluh dua. Memaksa para pem...