29th Light: They were Actually Killed

49 16 20
                                    

Apakah ayah dan ibu benar-benar dibunuh?

Apakah kecelakaan itu benar-benar sudah direncanakan sebelumnya?

Pertanyaan tersebut terus-menerus terngiang dalam kepala Celine. Meski sudah berusaha untuk mengalihkan perhatian dengan berbagai cara, bisikan rasa ingin tahu dan perasaan sesak saat mendengar fakta itu dari Sebastian sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda akan berdamai.

Sehingga, hampir selama dua jam ia habiskan dengan duduk di pojok ruangan dengan tatapan kosong serta bahu yang hampir tidak pernah berhenti bergetar sejak siang tadi. Kedua tangannya mendekap erat kedua kaki. Seakan-akan kerinduan akan segera reda dengan membayangkan diri sedang berada dalam pelukan sosok orang tuanya.

Wajahnya yang masih tampak lugu di mata sebagian orang tenggelam di antara kedua lutut. Rambut pendek berwarna cokelat mudanya luruh, terurai menutupi wajah yang tampak sembab sehabis menangis tanpa suara. Bekas kemerahan sudah menutupi sklera matanya hingga tampak semakin menyedihkan.

Tidak. Celine sama sekali tidak butuh rasa kasihan. Dia tidak butuh simpati dari siapa pun. Lagi pula apa pengaruhnya bagi peredaran planet dalam tata surya? Apakah itu akan memunculkan sebuah keajaiban seperti pesawat ulang alik H-190/45 secara tiba-tiba melakukan pendaratan setelah hilang kontak selama tujuh tahun?

Pukul tujuh sore. Hampir tidak ada yang menyangka waktu berjalan secepat itu. Kecuali Celine. Gadis itu tidak peduli berapa jam sudah dia menghabiskan waktu di pojok ruangan, kemudian mengabaikan Sharon yang berkali-kali menawarinya makanan yang diantarkan petugas.

Perih akibat asam klorida yang mulai melukai dinding lambung bahkan tak cukup untuk membuatnya bergerak sekadar untuk memberi konfirmasi bahwa ruh masih bersatu dengan raganya. Dia tetap bergeming. Tidak ada waktu untuk melirik sepasang manik kemerahan yang khawatir ia lebih dulu mati karena kesedihan daripada terinfeksi virus.

Begitu sulit untuk menjelaskan apa sebenarnya yang dintuntut oleh lubuk hati. Ia ingin tahu kebenaran dari semuanya. Namun, di saat yang bersamaan takut akan tenggelam lebih jauh di dalam lautan kenestapaan karena kebenaran itu sendiri. Bahkan di antara jeritan tanpa henti, hatinya masih sempat bertanya, "Apakah jiwaku masih waras?"

Ya, dia hampir lupa tentang semua keceriaan, tawa, juga janji kecil Cyril yang membuat hati berbunga-bunga. Batas antara kematian dan kehidupan tampak begitu pudar untuk sesaat, Celine tak merasa berada di keduanya. Seperti berada di padang rumput di negeri antah-berantah pada malam yang diselimuti awan tebal. Hanya kegelapan sejauh mata memandang.

Getaran pelan pada benda yang tertanam di pergelangan tangannya mengembalikan Celine setelah hampir berjam-jam membiarkan setiap inchi jiwanya diisi oleh kesedihan. Sejak awal, dia sudah menantikan hal ini. Tetapi waktu melambat seolah mengalami dilatasi, menentang konsep fisika modern yang merupakan buah pikiran sang ilmuwan puluhan dekade sebelum mereka.

"Celine, kau sudah makan? Bagaimana belajarmu pagi ini? Apa ada yang tidak kau mengerti? Ah, kenapa hari ini Kakak cerewet sekali." Suara seorang wanita muda diiringin tawa pelan terdengar nyaring lewat airpods yang masih bertengger dan tidak dihiraukan selama berjam-jam.

"Kakak ...," lirihnya dengan suara serak akibat dehidrasi. Si penelepon sontak terpegun. Baru saja ingin ditanya mengenai penyebab suara nyaring itu berubah, Celine lebih dahulu bertanya. "Kakak, ini tentang ayah dan ibu .... Apa benar kalau mereka sebenarnya dibunuh?"

Jauh di seberang sana, Luna seperti mengalami serangan jantung ringan. Degup jantung yang sebelumnya normal seketika mengalami kenaikan frekuensi secara drastis setelah sebelumnya bagaikan berhenti bekerja selama setengah detik. Dadanya sesak hingga terdengar jelas tarikan napas berat dua kali setiap detiknya.

[END] We Will See the Sunshine TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang