Ra-On bersumpah akan membunuh laki-laki yang sudah melukai harga dirinya sebagai penyanyi itu, dengan tangannya sendiri.
Laki-laki dingin bermarga Choi yang selalu membuat kepala gadis itu mendidih.
Semua semakin buruk saat dua orang ini diharuskan...
"Kau bawa sampah kemari?" kata Yoongi sebagai kalimat pembuka begitu melihat tumpukan kertas berisi lagu yang kubuat.
Aku memandang Kwan yang berdiri setengah takut sambil memeluk tas hitamnya di sudut studio milik manusia es ini. Mata Kwan terlihat bergetar setiap kali melihat sosok laki-laki ini.
Sangat berbeda saat berhadapan dengan Chanyeol oppa. Di depan Yoongi, Kwan layaknya anak itik yang kehilangan induknya. Mungkin karena aura Yoongi yang memang tidak bersahabat pada semuanya. Gelap semua.
Begitu pula denganku yang selalu harus menyiapkan kesabaran ekstra untuknyan. Bahkan sekarang aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya sepelan mungkin sebelum kembali berhadapan dengan manusia es batu ini.
Aku mengeluarkan semua tenagaku untuk menarik kedua ujung bibir agar muncul senyuman manis di wajahku untuknya. Mungkin karena inilah aku selalu merasa kelelahan setiap kali menghadapinya.
"Bisa kau lihat dulu soenbae-nim? Aku buat beberapa. Juga instrumentnya sekalian."
"Untuk apa?" tanyanya dingin tanpa minat.
"Untuk lagu kita." Aku bisa melihat dia tersenyum sinis begitu mendengarnya.
"Kita? Siapa? Kau dengan siapa?"
"Kau dan aku."
Yoongi bersandar pada kursi hitamnya, lalu melipat kedua tangan di dadanya. Matanya yang mirip kucing itu terlihat tajam dengan tatapan mencemooh.
"Kau tidak perlu membuat lagu. Cukup nyanyikan saja bagianmu."
"Kau belum melihatnya."
"Tidak perlu."
"Kenapa?"
"Tidak masuk dalam penilaianku."
Braakk ...
Aku memukul meja lumayan keras dengan kedua tanganku. Sial, aku lupa tanganku terluka. Sakit.
"Dengarkan aku Choi Yoongi. Kau tahu maksud kolaborasi? Itu artinya aku juga berhak atas lagu yang dibuat. Dalam proses dan hasilnya.
Kau juga ada bagian rap di lagu itu kan? Begitu pula denganku. Aku juga ingin bukan hanya suaraku saja tapi lagu yang kutulis ada di sana.
Kalau tidak segera selesai juga, bagaimana kalau kita lakukan bagian masing-masing dengan lagu yang kita buat sendiri? Biar sekalian hancur. Pasti bagus sekali," balasku.
Laki-laki itu tidak bereaksi dengan segala ucapanku barusan. Dia malah diam sambil memandang ke arah tanganku yang masih ada di mejanya. Apa dia tahu tanganku sakit? Kalau dia tidak buta, mestinya bisa melihat balutan putih di tanganku ini. Dan ini bukan untuk sekedar bergaya asal tahu saja.
"Singkirkan tanganmu. Kau buat bolpointku jatuh," katanya dingin.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.