38

242 43 23
                                    

"Itu kenapa?" tanya Ryung pagi ini saat melihat bekas merah di leherku.

"Kau baru melihatnya?" balasku ketus.

Dia tidak menjawab dan kembali sibuk memasukkan barang-barangku ke tas yang akan kubawa pulang.

Ryung memang selalu tidak akan melanjutkan pertanyaan yang akan membuat dia terlihat buruk.

Contohnya ini. Padahal bekas ini karena laki-laki yang semalam datang dan hampir membunuhku. Untung saja sebelum itu terjadi, seorang perawat datang dan membuat laki-laki itu tidak punya pilihan selain kabur bergitu saja setelah membisikkan niat kedatangannya.

Dan karena sifat Ryung tadi, aku bisa lolos dari interogasinya dengan mudah. Kalau dia mau bertanya lagi, aku bisa menjawab kalau bekas merah ini sudah ada sejak lama dan dia saja yang tidak memperhatikan.

Kuyakin jawabanku itu akan menyumpal mulutnya untuk waktu lama. Salah satu kebiasaan kakak laki-lakiku ini yang menjadi penyelamatku dalam situasi sekarang.

Aku tidak mau ada lagi yang terlibat dalam masalah yang sekarang ada di sekitar, selain aku.

Hari ini akhirnya aku diperbolehkan pulang juga. Setelah merengek hingga telinga Ryung berdarah, akhirnya dia mengijinkanku untuk meninggalkan rumah sakit. Tapi, tentu saja dengan pengawasan ketat.

Ryung melarangku pulang ke apartement dan menyuruh pulang ke rumah eomma. Paling tidak di sana ada yang menjagaku dan mengawasiku agar tidak membuat ulah lagi.

"Dengarkan baik-baik. Selama dua bulan kau tidak boleh beraktivitas yang berat dan masih harus ikut rehabilitasi untuk pemulihan." Aku mengangguk tanpa minat.

"Baik, Dokter."

"Menurut sekali kau."

"Menurut salah. Membantah salah. Mau aku yang bagaimana?"

"Aku hanya heran saja. Padahal dulu kau sangat tidak suka melakukannya. Melelahkan dan sulit katamu."

"Oh."

"Dan, sepertinya kau perlu menyewa pengawal pribadi. Bukankah sangat berbahaya sekarang ini? Mereka bisa saja mendatangimu dengan orang yang lebih banyak."

"Tidak. Itu akan menarik perhatian. Aku malas harus menjelaskan."

Ryung menghela nafas panjang. Dia sudah hilang akal menghadapiku sepertinya.

"Kau sadar kalau ini masalah yang serius kan? Eomma mungkin belum tahu. Tapi appa pastinya sudah menyadarinya. Kalau masalah ini sampai menyebar dan kau celaka karena ini ..."

"Kwon Ryung. Diamlah," potongku.

Kakakku membeku. Mata Ryung memang tajam, tapi ada kalanya mataku jauh lebih tajam dan dingin. Belum lagi aku mampu membuat orang lain merasa segan di saat bersamaan. Seperti sekarang.

"Peranmu sebagai kakak. Lakukan saja seperti itu. Bukan sebagai orang yang mengatur hidupku. Karena itu milikku," kataku serius.

Ryung memilih mundur dari pertempuran yang akan terjadi bila dia terus memaksakan kehendaknya padaku.

"Baiklah. Kuantar kau pulang."

"Tidak perlu. Kau juga sibuk. Ini bukan hari liburmu. Mari jangan saling menyusahkan untuk hal kecil begini ya," kataku sambil meraih tas besar yang sudah selesai dia bereskan dengan tangan kiri.

Meski menolak diantar olehnya, aku tidak bisa melarang dia mengantarku sampai masuk ke taxi yang dia pesan. Ryung bahkan sampai dua kali mengucapkan alamat yang dituju pada sopir. Memastikan aku pulang ke rumah eomma.

The Tangled Red String (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang