35

257 48 31
                                    

Ra-on pov

Aku memutuskan untuk kembali ke apartementku setelah tidak mendapat jawaban yang pasti dari eomma dan malah mengalihkan pembicaraan.

Jelas sekali ada yang mereka sembunyikan, karena eomma langsung memasang wajah datar dan dingin saat aku mencoba bertanya lagi. Dia juga segera meninggalkanku begitu saja tanpa banyak bicara.

Suasana rumah berubah canggung dan pekat. Tidak ada suara yang terdengar. Bahkan Ryung juga lebih banyak diam, tidak seperti biasanya.

"Kepalaku rasanya mau meledak. Mana yang harus kuselesaikan dulu? Masalah Eun Kyung? Atau perasaanku?" kataku sambil menjambak rambutku sendiri.

Begitu sampai apartement, kakiku segera melangkah menuju ke ruangan tersembunyi di lantai paling atas gedung apartement ini.

Sebuah ruangan yang sebenarnya gudang tidak terpakai dari pemilik gedung. Dengan dalih tidak ingin menganggu orang lain dengan suara berisik kalau aku sedang bekerja, aku segera membelinya begitu kutemukan waktu itu. Dan pemilik gedung mengiyakan saja tanpa banyak bertanya.

"Hah ... Jadi sampai di mana kita?" tanyaku pada komputer yang menyala di depanku. Di kanan kiriku juga berjejer beberapa alat yang biasa kupakai untuk 'berkelana'. Berkelap kelip layaknya lampu lalu lintas.

Aku menggulung rambutku ke atas agar tidak menganggu saat aku bertarung dengan diriku sendiri.

Doakan aku selamat. Hari ini, harus dapat pancingan besar. Aku sudah melempar semua umpan ke pada dua orang itu. Dan masih ada 'anak-anakku' berada di ponsel mereka yang selalu bersiap di saat kubutuhkan. Contohnya hari ini.

Mataku bergerak dengan cepat menyusuri semua data di ponsel yang kuretas ini. Di saat aku sibuk mencari hal yang menarik, sebuah panggilan telefon masuk ke salah satu ponsel mereka.

Nomor yang tertera disembunyikan oleh si penelefon. Mungkinkah si ketua? Tanganku segera bergerak mencari dari mana asal panggilan itu berasal.

"Cepat lah ... Cepat ..," kataku menyemangati program pelacak yang sedang bekerja.

"Bagaimana dengan gadis itu? Sudah kalian bereskan?" kata si penelefon.

"Maaf. Dia selalu bersama Lebah saat ini. Tidak bisa didekati dengan mudah," jawab penerima.

"Lebah itu," kata penelefon dengan nafas berat.

"Akan banyak masalah kalau berurusan dengan Lebah. Bagaimana kalau ..."

"Jangan berani sentuh dia. Sekarang urus saja barang yang akan datang. Jangan sampai ada kesalahan lagi. Kalau kalian masih bekerja layaknya amatir, maka kepala kalian yang akan kukirim sebagai makanan ikan."

"Baik, Sajang-nim." Lalu sambungan terputus.

Bulu kudukku berdiri begitu mendengar suara itu. Spontan aku melempar headphone yang kukenakan saking terkejutnya.

Aku mengenali pemilik suara yang dipanggil sajang-nim tadi. Bukan orang asing namun sudah lama tidak bertemu juga denganku. Laki-laki yang hampir seumur hidup kukenali.

Dalam hati, aku berdoa bukan dia orangnya. Bukan orang yang ada dalam pikiranku saat ini.

"Tidak. Bisa saja bukan dia kan?" kataku terus saja menolak kenyataan yang sudah ada di depan mataku.

Tapi, kenyataan memang terkadang tidak sesuai dengan keinginan.

Titik merah di komputerku terus menyala. Menandakan di mana letak si penelefon saat ini. Programku berhasil menemukan lokasinya sebelum sambungan terputus.

The Tangled Red String (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang