17

196 46 1
                                    

Aku memutar pensil di sela jemariku sambil memandang deretan huruf di kertas lusuh yang kupegang sedari tadi dengan cermat.

"Ini yang terakhir," kataku akhirnya, sambil menggeser kertas ini pada laki-laki dingin yang selama tiga puluh menit hanya diam saja di depanku.

Tangannya yang putih menopang dagu, sedangkan mata kecilnya sibuk membaca tulisan yang kuberikan.

Dia masih tidak mau membuka mulut, seakan ada lem super lengket yang dia oleskan di sana, namun tangan satunya sibuk bergerak mencoret sana sini. Selesai sudah. Kali ini apa lagi yang mau dia habisi dariku?

"Kalau kau setuju, kita pakai ini," ucapnya dengan nada rendah sambil menunjukkan hasil revisi dari yang kutulis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau kau setuju, kita pakai ini," ucapnya dengan nada rendah sambil menunjukkan hasil revisi dari yang kutulis.

Entah kenapa tanganku malah bertepuk tangan dengan riuh begitu mendengar suara yang baru dia keluarkan.

Tentu saja keningnya berkerut bingung melihat kelakuanku. Seakan ada tulisan di dahinya yang menanyakan kewarasanku saat ini.

"Kupikir kau patung, karena dari tadi hanya duduk tanpa bergerak," jawabku tanpa ditanya.

Tak ada balasan darinya. Hanya sorot mata tanpa minat dan wajah datar yang dia berikan padaku. Setelah itu ... Krik.. Krik ...

"Kapan mulai?" tanyaku mencoba menghentikan keheningan ini.

Sample lagu kemarin masih harus diubah lagi karena beberapa hal, karena itulah kami sekarang bertemu di studionya hari ini.

"Besok. Lebih cepat lebih baik," jawabnya tanpa memandangku.

"Baguslah."

"Benar, itu lebih baik. Lebih cepat selesai maka semakin cepat kita tidak perlu bertemu lagi."

Aku diam. Aku tidak tahu kenapa enggan untuk menanggapi ucapan terakhirnya tadi. Aneh.

Aku memilih beranjak dari kursi menuju ke sofa hitam panjang yang terasa sangat nyaman bagiku. Terakhir kali, bahkan aku bisa tidur di sini dengan nyenyak

"Kau tidak pergi? Sudah tidak ada yang perlu kau kerjakan lagi," komentarnya melihatku yang sudah berbaring di sofa.

"Bisa kau mainkan lagu itu?"

"Apa?"

"Lagu waktu yang kau putar saat aku terakhir kali ke mari."

"Tidak ada siaran ulang. Pergi sana. Jangan mengotori pandanganku dengan berkeliaran di sekitarku."

"Aku sangat lelah," kataku sambil memasang wajah sayu. Dia hanya menoleh sebentar, lalu kembali pada layar komputer.

"Pergi tidur sana," jawabnya acuh.

"Karena itulah aku meminta soenbae memainkan lagu itu agar aku bisa tidur. Rasanya sangat nyaman mendengarnya. Beberapa hari ini, selelah apa pun diriku, sangat sulit untuk tidur dengan lelap. Seperti ada yang mengganjal, tapi aku tidak tahu apa."

The Tangled Red String (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang