13

233 49 9
                                    

Kalau ada yang menyebut keluargaku gila,  aku tidak akan berkomentar bayak. Jelas terlihat dari jalan pikiran kami yang sedikit tidak umum dan terkadang menantang orang lain. Tapi aku akui itu sangat nyaman untukku. Tanpa topeng dan berlaku layaknya aku.

"Kau lihat dia datang tadi? Sama sekali tidak menyesal membuat keributan. Seakan tidak terjadi apa pun."

"Benar. Kalau aku jadi dia, pasti sudah bersembunyi di bawah kasur berhari-hari."

"Memangnya kenapa harus sembunyi? Apa aku melakukan kejahatan sampai harus melakukannya?'
Mereka berdua memucat begitu mendengar suaraku. Bahkan sekarang seperti melihat hantu saja wajah mereka yang seputih kertas saat melihatku keluar dari salah satu bilik toilet.

"Kenapa diam? Tadi kalian sangat lancar bicara. Apa lidah kalian tergigit?" tanyaku lagi.

Mereka saling pandang dengan takut dan canggung.

"Kalau ada yang perlu kalian katakan, katakan sekarang. Selagi aku ada di depan kalian. Jangan seperti pengecut yang hanya berani bicara di belakangku," kataku sambil memainkan helaian rambut salah satu dari mereka berdua.

"Tidak. Kami tidak mengatakan apa pun," jawabnya dengan suara bergetar.

Aku mendekatkan wajahku padanya. Menatap tepat manik mata yang terlihat takut itu, dia bahkan tidak menari menatapku, lebih memilih menunduk dan mengerutkan tubuhnya sebagai bentuk perlindungan.

Jari telunjukku menyentuh dagunya dan mengangkatnya hingga dia menatapku kini.

"Sayang sekali wajah cantik ini kalau hatinya membusuk. Akhirnya hanya akan berakhir jadi sampah dan dibuang."

Aku bisa melihat dengan jelas matanya mulai berair dan tubuhnya yang semakin bergetar karena takut. Aku mendengus melihatnya.

Perhatianku beralih pada temannya yang sedari tadi berdiri tidak jauh dariku. Tanganku dengan cepat mengambil ponsel yang ada di saku bajunya.

"Lakukan dengan lebih baik," ucapku begitu tahu kalau dia sedang merekam kejadian tadi.

Wanita ini terlihat panik dan ketakutan. Dia ingin bicara namun tergagap sampai tak terdengar apa pun. Hei, aku tidak melakukan apa-apa pada mereka. Ingat itu ya. Namun, mereka sendiri yang memilih untuk takut padaku.

Si pemilik ponsel makin terlihat bingung saat aku memutar ponselnya di depan wastafel. Jangan khawatir, aku tidak akan merendam ponsel mahal ini ke dalam air sabun lalu menggosoknya ke tembok. Namun, cara paling menyenangkan bagiku adalah mereset semua data yang ada.

"Beli ponsel baru ya. Itu saran dariku. Kalau perlu, kirimkan tagihannya padaku akan kuganti. Ah ... Satu lagi. Kalau ada berita aneh tentangku setelah ini, kalian orang pertama yang akan kucari. Selamat siang, have nice day," kataku diakhiri dengan senyuman manis untuk mereka.

Begitu aku menutup pintu toilet, langsung terdengar suara yang jatuh ke lantai cukup keras dibarengi dengan suara tangisan dari dalam. Hah ... mereka ini mau main drama kolosal sepertinya. Aku lebih suka drama komedi sebenarnya.

Tanpa memikirkan mereka lagi, kini kakiku menuju ke salah satu ruangan management di lantai lima gedung agensi.

Tujuanku hari ini adalah ruangan nenek sihir alias penyihir jubah hitam kalau kata mereka. Kenapa disebut begitu? Karena kemampuannya dalam menangani semuanya layaknya sihir. Wuss... Langsung beres. Entah bagaimana dia menanganginya. Yang jelas dia adalah lubang jalan keluar dari segala masalah yang dialami oleh para artis di agensi ini.

"Bawa apa kau sampai berani datang ke mari?" sambutnya begitu aku berdiri di ambang pintu.

"Membawa tekat kuat, dan sedikit keberanian," jawabku.

The Tangled Red String (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang