18. Mimpi

1.1K 244 19
                                    

Bandung, 2018.

Rama berlari cepat begitu mendapat panggilan dari Fika yang memberitahunya bahwa dia tengah menunggu di lobi. Untungnya, kedatangan perempuan itu bertepatan dengan jam makan siang, sehingga dirinya bisa langsung pergi tanpa harus izin pada atasan. Namun, sialnya jam makan siang justru menghambat pergerakan lift karena banyak pegawai yang juga hendak keluar untuk mencari amunisi. Karena tak ingin membuat kekasihnya menunggu terlalu lama, pada akhirnya ia memutuskan untuk turun menggunakan tangga darurat.

Langkahnya memelan saat melihat Fika tengah duduk di salah satu kursi besi yang ada di lobi. Rama tersenyum, dan segera menghampiri perempuan itu.

"Hei, udah lama?" sapanya.

Fika mengangkat wajah, matanya sedikit melebar saat melihat penampilan Rama. Dia tampak berantakan dengan rambut lepek yang beberapa helainya menempel di kening karena keringat. Lengan kemeja digulung asal hingga batas siku, dasi tersampir ke belakang pundak, dan napas terengah seolah memperkuat bukti bahwa lelaki itu habis menempuh perjalanan jauh.

"Oh, tadi lift-nya penuh, jadi aku pake tangga." Mendapat perhatian dari Fika membuat Rama sadar. Ia sontak mengusap peluh di keningnya, lalu menyugar rambut ke belakang agar terlihat lebih rapi. "Berantak banget, ya?" ringisnya.

"Hm." Fika mengangguk sembari menarik dasi Rama agar kembali pada tempatnya. "Duduk dulu, Ram."

Rama menurut, langsung duduk di samping Fika. "Kamu kenapa di sini? Tumben."

"Em, Rama."

"Iya?"

"Ada ... yang mau aku omongin," ujar Fika seraya menundukkan pandangan.

"Hm? Apa?"

Tak langsung menjawab. Fika justru menggigit bibir bawahnya sambil memainkan ujung kuku ibu jarinya pada tangan.

"Kenapa, Fik? Kamu sakit?" tanya Rama sambil menyondongkan wajah untuk melihat perempuan itu lebih jelas.

Fika menggeleng cepat. Ia menelan saliva untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering, lalu kembali menatap lelaki di hadapannya dengan bola mata yang bergerak gusar.

Untuk sesaat mereka saling tatap, sebelum tatapan Rama turun pada tangan Fika yang tak lagi memainkan kuku jari, melainkan pindah memegangi perutnya sendiri. "Kenapa? Lagi haid?" tanyanya saat kembali menatap perempuan itu.

"Enggak, bukan itu," sanggah Fika.

"Lapar? Kalo gitu kita---"

"R-Rama!" Fika segera menarik tangan Rama sebelum lelaki itu berdiri dari duduknya.

Alis Rama terangkat, menunggu Fika kembali berbicara, tetapi hingga detik berlalu tak ada kata yang terlontar. Ia menghaluskan tatapan, lalu mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah kekasihnya. "Kamu sakit, ya? Muka kamu pucat."

Gelengan kuat kembali diberikan Fika. Ia meraih tangan Rama di wajahnya, lalu menurunkannya ke pangkuan lelaki itu. "Aku mau minta maaf."

"Kenapa?"

Mata Fika semakin bergerak gusar. "Aku ... mau putus."

Rama terkesiap. Detak jantungnya berhenti selama tiga detik, mencerna ucapan Fika. "Putus? Kenapa?"

Fika kembali menunduk, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat sembari memainkan jari seperti sebelumnya. "Kita udah gak cocok."

"Apa?"

"Aku ngerasa kita udah gak ada kecocokan."

Alis Rama menukik. "Aku ada salah sama kamu?" tanyanya.

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang