28. Keputusan

1.1K 237 51
                                    

"Lo gak marah, Ra?"

Pertanyaan Sarah membuat Sera mengalihkan perhatian dari laptop. "Marah kenapa?"

"Liat Rama barusan?"

Tidak langsung dijawab. "Kenapa harus marah?" tanya Sera kemudian sembari kembali menatap lembar skripsi di layar.

"Lo enggak tau?" tanya Sarah. "Cewek tadi mantannya Rama!"

"Iya, tau."

"Terus?" pancing Sarah. "Kenapa diem aja?! Kalo gue, sih, bakalan marah!"

Untuk beberapa saat, Sera kembali terdiam. "Menurut lo, lucu enggak kalo gue marah ke cowok yang gak ada hubungannya sama gue?"

"Tapi tetep aja---"

"Enggak lucu," imbuh Sera, menjawab pertanyaannya sendiri. "Jadi lo gak perlu mancing gue buat marah, Sar."

Mencebik, bibir Sarah bergerak mencibir tanpa suara, lalu menjatuhkan diri di kasur dengan perasaan sebal, menerawang langit-langit kamarnya melalui tatapan. Keheningan membuat pikirannya melayang, dan sekonyong-konyong teringat dengan cerita yang pernah didengarnya saat ditinggal pergi Hanafi. Hilang sedikit kesalnya, diganti dengan rasa penasaran. "Rama gagal move on sama mantannya yang tadi, bukan?"

Guliran telunjuk Sera pada mouse seketika berhenti. Ia melirik Sarah, mendapati perempuan itu sedang bermonolog, bukan menciptakan dialog dengannya. Oleh karena itu, dialihkan kembali tatapannya pada layar laptop tanpa mengindahkan gumaman perempuan itu.

"Eh, lo pernah denger, gak? Katanya kalo cowok sampe gagal move on, berarti secinta itu sama ceweknya," beber Sarah, kembali mengajak lawan bicaranya berdialog. "Sedep, ya? Itu cowok bucin juga," kekehnya, geli sekaligus tak percaya jika Rama seperti itu, tetapi detik selanjutnya justru mengernyitkan kening. "Mereka beneran putus gak, sih? Kok bisa barengan lagi? Yang tadi mereka bawa anak siapa, dah?" tanyanya, mengoceh seorang diri. "Enggak mungkin balikan 'kan, Ra?" Kali ini kepalanya menengok sempurna, meminta tanggapan dari lawan bicaranya yang masih fokus pada laptop, tidak menggubris. "Ih! Gue ngomong sama lo, ya! Jawab, dong!"

Dari awal Sera memang mendengarkan, tetapi sama sekali tidak ada minat menanggapi. "Gue pengin cepet-cepet lulus, Sar," timpalnya, jauh dari topik dialog Sarah.

"Hah?"

"Jangan bahas itu dulu, please," pinta Sera, sedikit memelas. "Kepala gue pening banget."

Detik itu juga Sarah langsung tutup mulut. Ditatapnya punggung Sera dalam diam selama beberapa saat sebelum kembali menatap langit-langit kamarnya. "Ra, kita temenan udah empat tahun, 'kan?" tanyanya. "Kenapa lo jarang cerita ke gue?"

Sera tidak menjawab.

"Lo juga gak cerita kenapa tiba-tiba nginep di kosan," heran Sarah, tidak peduli meskipun sang lawan bicara tetap diam. "Cerita, dong! Lo gak capek apa cuma jadi pendengar cerita gue? Kali-kali gue juga pengin denger cerita lo. Dikit aja, Ra. Dikit. Spoiler, deh? Ada apa lo sama Rama?"

Ujung halaman sudah dicapai Sera, tetapi telunjuknya tidak berhenti menggulir mouse. Ia tercenung, menatap layar laptop dengan kosong sambil mencari jawaban atas pertanyaan Sarah. Ada apa lo sama Rama? Tidak ada. Dari awal juga tidak pernah ada apa-apa di antara mereka. Hanya hubungan tak sengaja yang berakhir jadi dekat dan mengalir tanpa ada pengikat. Begitu juga dengan pertemuan tak sengaja tadi. Ada apa? Mendengkus pelan, dirinya bahkan tidak tahu kenapa tiba-tiba hubungan mereka menjadi asing. Lelaki itu yang menjauh sendiri. Lelaki itu yang mengasingkan diri sendiri. Apa salahnya? Apa alasannya? Tidak tahu. Tidak ada jawaban.

"Sera!"

Bahu Sera berjingkat kaget ketika Sarah tanpa aba-aba menepuknya cukup keras. "Ya Tuhan, apa?!"

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang