Emang ada yang masih nungguin cerita ini?
*****
"Mau jalan sama gue, enggak?"
Rama baru ingat bahwa ada lima hal yang tidak bisa ditarik lagi. Pertama, kata yang sudah terlontar. Kedua, waktu yang sudah berlalu. Ketiga, kesempatan yang sudah lewat. Keempat, kepercayaan yang sudah rusak. Terakhir, jatah kehidupan yang sudah habis. Dan tadi, mulut kurang ajarnya ini telah melangkahi hal pertama, kembali bertindak sendiri tanpa kompromi dulu dengan otaknya. Ia tidak menyesal, tetapi melihat Sera tiba-tiba terpaku membuatnya agak sedikit khawatir. Apakah ajakannya terlalu lancang?
Perempuan itu berdeham pelan. "Ke mana?"
Pertanyaan itu membuat ketegangan pada pundak Rama sedikit kendor. Paling tidak Sera tidak langsung menolak. "Ke mana aja," cetusnya, yang dari awal memang tidak memiliki persiapan apa-apa. "Mungkin ada tempat yang lagi pengin lo kunjungin?"
Terpekur beberapa saat, Sera kemudian menggeleng. "Eum, gak ada," jawabnya. "Lo?"
Rama balas menggeleng. "Enggak ada juga," timpalnya, lalu terdiam sebentar. Meski begitu ada suatu desakan dari dalam yang ingin disampaikan. "Gue cuma mau jalan sama lo."
Terdiam. Sera hanya menatap Rama.
"Ada yang mau gue obrolin, tapi enggak di sini," lanjut Rama. "Gue enggak maksa, kok. Lo boleh nolak kalo keberatan." Ia kemudian mengalihkan perhatian pada sepiring nasi padang yang cukup lama terabaikan. "Makan, Ra. Keburu makin dingin." Bukan bermaksud pura-pura sibuk untuk mengalihkan fokus. Bukan pula karena ajakannya hanya modus dan tidak serius. Memang benar ada yang ingin dibicarakannya, tetapi memberi ruang pada Sera untuk berpikir juga perlu. Ia tidak ingin Sera merasa tertekan hanya karena permintaannya. Tidak apa-apa meski nanti perempuan itu menolak. Mungkin—
"Jam berapa?"
"Hm?" Rama mendongak.
"Besok," ulang Sera, menelan saliva pelan. "Jam berapa?"
Rahang Rama langsung berhenti mengunyah.
***
"Ibu ke rumah sakit, Mas. Tadi pagi Mbak Fika pendarahan."
Baru juga sampai, Rama sudah harus kembali beranjak saat Bi Yati memberitahu keberadaan Mama. Meski tadi sempat terpaku beberapa saat sebelum pergi karena otaknya tiba-tiba saja berhenti bekerja ketika mendengar kabar tersebut. Perasaannya jadi tidak karuan diserang gusar. Padahal sepulang mengantar Sera, suasana hatinya baik-baik saja. Teramat baik malah karena ajakannya berhasil diterima. Namun, semua itu berubah hanya karena mendengar kondisi Fika. Tak menyangka jika perempuan itu masih begitu berpengaruh untuknya.
Keluar dari mobil, Rama langsung berlari kecil menuju IGD. Tidak butuh waktu lama baginya menemukan keberadaan Mama di ujung lorong bersama Rafa. Ia hendak menghampiri, tetapi langkahnya justru berhenti saat tiba-tiba menyaksikan Mama melayangkan tamparan keras di pipi Rafa. Begitu keras sampai suaranya terdengar hingga ke ujung lain.
"Sadar apa yang kamu lakuin?"
Tidak ada respons dari Rafa selain terdiam, menunduk.
"Harus berapa kali Mama tanya? Kamu sadar gak?!" Nada Mama meninggi. "Kamu itu udah ngerusak anak orang!"
"Ma!" Melihat tangan Mama kembali melayang di udara membuat Rama bergerak cepat menghampiri. Ia langsung menyela di antara keduanya sembari meraih tangan Mama yang nyaris menyentuh wajah Rafa untuk kali kedua. "Udah, Ma. Gak enak diliat orang." Dari dekat, tampak jelas raut Mama menahan amarah dengan sorot mata tajam yang berkaca-kaca. Khas perempuan bila sedang di puncak emosi. "Kita keluar, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Serama (Ayo, Move On!)
FanfictionDiselingkuhi pacar dengan teman sendiri memanglah epic, tetapi pernah tidak diselingkuhi pacar dengan kakak sendiri? Ya, kakak sendiri, kakak kandung, bukan kakak-kakak-an, apalagi kakak adik zone. Benar-benar kakak yang satu ayah, satu ibu, dan sek...