Ini... lumayan panjang, kayaknya.
*****
Adakah batas bagi setiap pundak manusia dalam menanggung beban? Seberapa banyak? Seberapa kuat? Kadang, Rama merasa takut jika batas pertahanannya sudah mencapai klimaks, dan dirinya sudah tidak punya kekuatan lagi untuk menanggung itu semua. Beban ini terlalu berat ditanggung seorang diri, sementara belakangan ini dirinya terlalu segan untuk berbagi keluh pada orang lain. Sadar bahwa tidak semua hal bisa diceritakannya pada orang lain. Tidak setiap waktu orang akan pasang telinga untuk mendengarkan. Ada saat-saat di mana mereka juga tidak mampu menampung segala keluh-kesah orang lain sebab sibuk menanggung gelisah sendiri. Lantas, siapa lagi yang dapat diandalkannya jika bukan diri sendiri?
Embusan napas keluar dari mulut Rama ketika menganggukkan kepala dengan gerakan pelan. "Iya, Bu, masih ada satu sidang lagi, jadi belum bisa ke sana. Doain ya, Bu," pintanya, yang disusul dengan untaian doa dari ibu tirinya di sebrang telepon, bertepatan dengan pandangannya yang menangkap sosok Rafa menyambangi dapur. "Aamiin. Makasih, Bu. Iya, nanti disampaikan ke Mama. Salam juga buat Papa sama Nala. Iya, Bu. Wa'alaikumsalam."
Panggilan berakhir.
"Papa?"
"Istrinya," terang Rama. "Katanya Papa udah keluar rumah sakit kemarin malem."
Mendengar itu, Rafa langsung mengembuskan napas panjang. "Alhamdulillah, syukur kalau gitu," tuturnya penuh kelegaan. "Padahal kemarin pagi gue telpon masih nunggu dokter."
Tidak ada sahutan dari Rama. Ia bergeming selama beberapa saat, menekuri layar ponsel yang meredup perlahan, sebelum mengembuskan napas pelan dan meletakkan benda itu di atas meja makan.
"Kayaknya lusa gue mau ke Balikpapan," ujar Rafa, sembari berjalan lebih untuk mengambil segelas air dari dispenser. "Lo mau ikut?"
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Rama masih diam, sibuk dengan laptop di hadapannya. "Ada bimbingan."
"Terus kapan mau ke sana?"
Rama tidak langsung menjawab. "Gue lagi ngejar sidang akhir."
"Udah dibuka?"
"Minggu depan."
"Emang skripsi lo udah sampe BAB berapa?"
"BAB terakhir, tinggal olah data."
"Udah disuruh maju sidang sama dospem?"
"Belum, makanya ini lagi gue kejar biar cepet acc," jawab Rama.
Rafa mengangguk. "Ya udah, moga sukses sidang lo," ucapnya sembari melenggang pergi dari dapur, tetapi kemudian langkahnya kembali berhenti di ambang jalan masuk. "Eh, Ram, lo udah ngobrol sama Mama?"
Pandangan Rama terangkat. "Ngobrol apa?"
"Pindah ke Balikpapan."
"Siapa yang pindah?"
"Lo," tunjuk Rafa, menggedikan dagu pada Rama. "Gak jadi?"
"Oh, itu," sahut Rama, melirik sebentar ke layar laptop, sebelum kembali menatap Rafa. "Belum, masih gue pikirin."
"Jangan pergi tiba-tiba, lo!"
"Enggaklah."
"Izin Mama dulu."
"Iya, tau."
"Ya udah," cetus Rafa, hendak berbalik pergi, tetapi kembali urung. "Eh, Ram."
"Apa lagi, sih?!" sahut Rama, mulai jengkel karena Rafa terus-terusan menginterupsi pekerjaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serama (Ayo, Move On!)
FanfictionDiselingkuhi pacar dengan teman sendiri memanglah epic, tetapi pernah tidak diselingkuhi pacar dengan kakak sendiri? Ya, kakak sendiri, kakak kandung, bukan kakak-kakak-an, apalagi kakak adik zone. Benar-benar kakak yang satu ayah, satu ibu, dan sek...