Apa patah hati terbesar kamu?
Kalau Rama, bukan saat pertama kali mengetahui hubungan Rafa dan Fika, melainkan ketika mendengar kabar Papa dan Mama akan bercerai. Ia sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa bercerai artinya berpisah alias memutus hubungan pernikahan. Entah apa namanya, ada perasaan kosong yang menggerogoti dada begitu membayangkan dirinya akan hidup tanpa salah satu dari mereka. Fika memang berarti, tetapi hanya mengisi kekosongan harinya selama satu tahun, sementara belasan tahun hidupnya diwarnai dengan orang tua yang lengkap. Mau bagaimanapun juga, mereka merupakan cinta pertamanya.
Rama pikir, pernikahan adalah ikatan paling tinggi dari suatu hubungan. Mustahil berpisah semudah itu setelah memutuskan terikat satu sama lain. Namun, pemikiran sederhana ini seakan dibantah mentah-mentah oleh perpisahan orang tuanya. Memang, pernikahan berarti mengikat hubungan, tetapi berpisah itu mudah bagi setiap insan yang menginginkannya tanpa melihat status hubungan. Sebab itu, pernikahan tidak selalu menjamin hubungan akan bertahan. Dengan maksud lain, pasangan yang memiliki ikatan saja semudah itu berpisah, apalagi yang tidak memiliki ikatan. Iya, 'kan?
Duduk di undakan jalan sembari memandang beberapa orang yang lewat adalah hal pertama yang dilakukan Rama dan Sera sejak memutuskan keluar dari gedung kuliah. Jalan masuk yang selalu tertutup di belakang gedung language center menjadi tempat pilihan terakhir mereka untuk memulai pembicaraan. Tidak terpikirkan tempat lain lagi, karena hampir setiap sudut kampus diramaikan oleh ragam jenis aktivitas mahasiswa. Agaknya kurang enak jika berbicara serius di tengah keramaian.
"Lo, nginep di kosan Sarah?" Basa-basi pertama yang dilontarkan oleh Rama.
"Iya."
Mengangguk, Rama sudah tahu alasan Sera. Maka dari itu, tidak ingin berbasa-basi dengan kembali bertanya. "Gue minta maaf, karena kemarin pergi gitu aja."
Sera balas mengangguk.
"Maafin juga, kalau sikap gue bikin lo bingung."
Mendengar itu, Sera praktis geming, kembali teringat dengan pengakuan Adit. "Lo udah denger semua ya, Ram? Dari Kak Adit."
Rama tahu arah pertanyaan Sera tanpa perlu balik bertanya. Hanya saja ia memilih bungkam selama beberapa saat sebelum memberi anggukan kecil sebagai jawaban. "Lo, tau dari mana?"
"Kak Adit."
"Mas Adit yang bilang?"
Sera menggeleng. "Kalian sama aja, gak akan cerita apa-apa kalo bukan gue yang tanya sendiri," dengkusnya, setengah mencibir. "Kenapa gak bilang? Lo pasti gak nyaman gara-gara itu."
Seulas senyum kecil terbit di bibir Rama. "Enggak, Ra," bantahnya sembari menundukkan pandangan pada daun-daun kering yang berjatuhan di jalan. "Dibanding gak nyaman, gue lebih ngerasa ... takut."
Tidak ada balasan, Sera hanya mendengarkan, merasa kalimat Rama masih menggantung.
"Hm, takut," gumam Rama, memungut daun kering di bawah kaki. "Bukan karena Mas Adit, bukan juga cuma karena perasaan Mas Adit, tapi karena Mas Adit kakak lo." Ia menipiskan bibir ketika memilin batang daun kering yang sudah dipegangnya. "Mungkin gue gak akan setakut ini kalau Mas Adit cuma orang asing yang suka sama lo, atau gue yang gak pernah diselingkuhin sama kakak sendiri. Tapi, kenyataannya dia kakak lo, dan gue pernah diselingkuhin sama kakak sendiri."
Sera masih diam.
"Gue harap lo enggak salah paham, karena gue gak bermaksud bandingin lo sama Fika. It's just about me and my fears," lanjut Rama, menoleh pada perempuan yang tengah menatapnya dalam kegemingan. "Ra, bumi itu luas, manusia itu banyak, sedangkan lo cuma ada satu. Buat dapetin lo, gue tau perlu berjuang lebih banyak, but why do I have to feel this again?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Serama (Ayo, Move On!)
FanfictionDiselingkuhi pacar dengan teman sendiri memanglah epic, tetapi pernah tidak diselingkuhi pacar dengan kakak sendiri? Ya, kakak sendiri, kakak kandung, bukan kakak-kakak-an, apalagi kakak adik zone. Benar-benar kakak yang satu ayah, satu ibu, dan sek...