Beberapa saat lalu, Rafa berpesan kepada Rama untuk menutup kafe jam delapan. Dia juga bilang akan langsung menjemput Rama setelah salat isya. Maka, ketika jarum jam hampir mendekati angka delapan, Rama segera mengubah tanda buka menjadi tutup agar tidak ada pelanggan lagi yang datang.
Dan, di sini Rama sekarang. Menunggu kedatangan Rafa di halte sebrang jalan sambil memandang kafe kopi itu dalam diam. Ia tahu perjuangan keras Rafa untuk memiliki kafe. Lelaki yang lebih tua tiga tahun darinya itu berjuang mati-matian untuk mengenalkan produknya sendiri dengan berjualan dari jalan ke jalan, membuka lapak disetiap acara kampus, atau mengunjungi gelaran car free day setiap hari Minggu. Usahanya memang tak mengkhianati hasil. Tak sampai lima tahun, kopi kecil-kecilan itu kini sudah memiliki kafe sendiri.
Jiwa bisnis Rafa sudah tertanam sejak dulu. Otaknya memang bekerja untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah, persis seperti Mama dan Papa. Ambisi yang kuat menjadikan lelaki itu ingin mendapatkan segala hal yang diharapkannya, meski harus mengambil milik orang lain. Tak terkecuali masalah perempuan.
Mencelos, Rama benci kenyataan jika perempuan yang diambil itu miliknya. Ia kemudian mengalihkan pandangan dari kafe ke jam tangan. Setengah jam berlalu, dan Rafa belum datang. Lantas, ia mengambil ponsel dari saku celana untuk menghubungi Rafa. Namun, ponselnya tak kunjung menyala meski telah menekan tombol kunci berulang kali.
Sial!
Rama mengumpat sambil mengembalikan ponselnya yang tak berguna itu ke dalam saku. Perasaannya mendadak tidak enak, tetapi semoga Rafa tidak lupa dengan janjinya, dan akan datang meski telat. Yah, semoga.
Namun, sampai satu jam berlalu tak ada tanda-tanda kedatangan Rafa. Perasaan tidak enak hilang, dan berganti menjadi rasa kesal bukan main. Dalam hati tak henti merutuki janji Rafa yang akan datang setelah salat isya---yang mungkin maksudnya ialah salat isya sekalian salat tahajud sepertiga malam.
Double kill! Mobilnya dibawa pergi dan ponselnya mati. Entah bagaimana cara Rama pulang jika Rafa benar-benar tidak menjemput. Ia memeriksa semua saku yang ada di pakaiannya untuk mencari dompet, tetapi kemudian mendesah saat ingat dompetnya berada di mobil. Sial! Triple kill!
Rama menumpu kedua siku di atas paha, menundukkan kepala sambil mengembuskan napas panjang, dan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tak pernah merasa semenyesal ini saat menuruti perintah Mama, tetapi malam ini kesabarannya benar-benar tak bersisa. Emosinya naik ke pucak, dan siap untuk diluapkan jika Rafa ada di depan mata.
Embusan napas panjang kembali keluar dari mulut Rama. Ia mengurai rambutnya ke belakang, lalu duduk dengan tegak, dan kembali memastikan jalanan barangkali secercah harapan muncul untuknya. Namun, bukan Rafa yang didapatinya, melainkan keberadaan Sera yang entah sejak kapan duduk di ayunan halte sambil menunduk pada ponsel.
Apa ini secercah harapan untuknya?
Tak ada reaksi. Rama hanya diam dalam ketegunan memandang Sera. Entah ini kebetulan atau termasuk pada garis takdir yang telah disuratkan oleh Yang Di Atas. Namun, kenapa Sera? Bukan Rafa, bukan Mama, bukan juga Tariq yang sempat melintas di kepalanya, melainkan perempuan yang baru dikenalnya sebulan belakangan.
Kaki Sera berhenti mengayun saat merasa ada yang memandangnya dari ujung mata. Ia sontak mengangkat kepala, lalu menoleh ke samping kanan, dan benar-benar mendapati seorang lelaki tengah memandangnya. "Eh, Rama?"
Mengerjap, Rama tersadar dari lamunannya karena panggilan Sera.
"Kirain gue bukan elo tadi," ujar Sera. Tentu saja menyadari keberadaan orang lain di halte ini saat pertama kali datang, tetapi tak menyangka jika orang itu ternyata Rama. "Lo baru pulang?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serama (Ayo, Move On!)
FanfictionDiselingkuhi pacar dengan teman sendiri memanglah epic, tetapi pernah tidak diselingkuhi pacar dengan kakak sendiri? Ya, kakak sendiri, kakak kandung, bukan kakak-kakak-an, apalagi kakak adik zone. Benar-benar kakak yang satu ayah, satu ibu, dan sek...