30. Hati Teguh Ditimpa Kalut

1K 231 31
                                    

Normalnya, berapa jumlah maksimal pertemuan yang dapat disebut kebetulan? Satu kali? Dua kali? Tiga kali? Tidak. Lebih dari dua kali, Sera merasa itu bukan hanya kebetulan. Mana ada pertemuan tidak sengaja sampai tiga kali berturut-turut? Lantas, kalau bukan kebetulan, apa namanya? Bertemu dengan Rama di tempat yang sama tanpa sengaja mungkin seperti garis takdir. Entah bulan lalu, minggu lalu, atau bahkan hari ini.

Sera hanya bisa mematung di tempat duduknya ketika melihat lelaki itu masuk ke kafe bersama seorang perempuan asing. Pandangan mereka bertemu, tetapi tidak lama karena perempuan asing itu langsung menarik lengan Rama menuju meja pemesanan. Ia mengerjap sambil berdeham, lalu kembali memusatkan seluruh perhatian pada layar laptop di hadapannya. Namun, semakin dipaksa fokus malah semakin tak becus. Seperti menyiksa diri dengan pura-pura sibuk, padahal hati dan pikiran sedang berkecamuk, berlagak baik-baik saja, padahal ada apa-apa.

Munafik kalau Sera bilang tidak peduli melihat kebersamaan Rama dengan perempuan lain. Ini bukan semata-mata karena rasa cemburu yang tak berhak, melainkan karena lelaki itu baru beberapa hari lalu menyatakan perasaan kepadanya. Masih hangat, dan jelas melekat. Namun, bak sebuah lelucon, seakan pernyataan itu tidak berarti apa-apa, dia kembali muncul bersama perempuan baru. Salah tidak jika dirinya merasa dipermainkan?

Embusan napas keras dikeluarkan Sera bersama dengan keputusan menyudahi waktunya di kafe ini. Seketika suasa hatinya memburuk. Ditutup layar laptop yang masih menampilkan dokumen skripsi itu dengan gerakan sedikit kasar, lalu dimasukkan ke dalam totebag, menyusul buku-buku penelitian yang turut dirapikannya. Ia berdiri, menyampirkan tas di bahu, lantas memeluk beberapa buku yang tidak kebagian tempat di dalam tas. Diabaikan sisa minuman dalam gelas, dan melangkah pergi begitu saja, meski sialnya harus melewati meja Rama lebih dulu.

Fokus, tetap fokus. Lurus terus. Jangan ngelirik. Jangan---

"Sera."

Sialan, dia manggil!

Tidak ingin menggubris, tetapi langkah Sera justru berhenti. Ditahan napasnya sejenak, lalu diembuskannya pelan seraya menoleh pada Rama. "Ya?" Ia mencoba terlihat biasa saja walaupun jantung berdentum luar biasa.

"Sehat, Ra?"

Huh, basa-basi? Sera menelan saliva, lalu mengangguk. "Iya, kayak yang lo liat sekarang."

Rama mengangguk. "Gue denger dari Sarah, lo pingsan sampe masuk IGD."

Oke, setelah ini Sera akan minta pada Sarah untuk tidak membeberkan keadaannya pada Rama. "Iya," jawabnya, tidak tahu lagi.

"Syukur kalau lo udah sembuh."

Sera menggigit kecil bibir bawah dengan kuat, merasa dadanya tiba-tiba bergemuruh.

"Mas Adit---"

"Siapa, Ram?"

Suara Rama terpotong ketika suara lain menyela. Pandangan mereka langsung tertuju ke arah yang sama, yaitu perempuan asing yang entah dari mana tiba-tiba datang, lalu mengapit lengan kokoh lelaki itu dengan posesif.

"Oh, kenalin, ini Sera, teman aku."

Aku? Mendengar penyebutan itu membuat kedua alis Sera sontak berkerut samar.

"Ra, kenalin ini---"

"Pacar Rama."

Semacam dibunuh tanpa disentuh. Detak jantung Sera terasa berhenti detik itu juga. Sakit dan sesak menjadi satu rasa yang berkecamuk dalam dada. Benar-benar merasa dipermainkan. Pernyataan cinta Rama kemarin ternyata hanya bualan semata. Ditatapnya lengan yang mengulur ke depan itu dengan mata bergetar sambil mencengkram erat buku dalam pelukan. Ia menelan saliva, membasahi tenggorokan yang mendadak kering kerontang, sebelum mengangguk dengan susah payah. "Ya, selamat kalian," ucapnya, tanpa membalas uluran tangan perempuan tersebut. "Kalau gitu, gue duluan."

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang