Rama terpaku di tempatnya berdiri. Tak ada reaksi yang diberikan oleh lelaki itu. Ia hanya bergeming, menatap Fika dengan tatapan yang sulit diartikan. Perasaannya campur aduk, antara marah juga kecewa. Banyak yang ingin dilontarkan. Namun, lidahnya tiba-tiba kelu, tak mampu berbicara meski hanya sepatah kata. Akal pikirannya mendadak hilang karena terlalu larut dalam keterkejutan, sampai membuatnya tidak tahu harus melakukan apa selain terperangah, menganga.
"Rama ..."
Tangan Rama mengepal perlahan. Dadanya tiba-tiba bergemuruh ketika mendengar suara lirih itu.
"R-Ram, lo b-bukannya masih magang?"
Suara lain kembali terdengar, membuat Rama mengalihkan tatapan dari Fika. Terlihat jelas jika Rafa tampak sangat terkejut dengan kehadirannya di sini.
"Kenapa kamu enggak bilang mau ke sini?" Fika kembali bersuara, dan terdengar bergetar. "A-aku---kamu mau masuk dulu, Ram? Kita bicara di dalam."
"Gue bisa jelasin---"
"Raf, kamu pulang aja. Biar aku yang ngomong sama Rama," potong Fika sebelum Rafa menyelesaikan ucapannya.
Awalnya Rafa terlihat ragu, tetapi kemudian, dia mengangguk. "Kita ngobrol di rumah, Ram," ucapnya sebelum pergi meninggalkan Rama dan Fika begitu saja.
"Masuk dulu, Ram. Aku jelasin di dalam," tutur Fika.
Rama menatap Fika dengan kelopak mata yang terkulai, kecewa. Ia tidak tahu perasaan mana yang lebih mendominasi, marah atau sedih. Namun, melihat Fika membuat dadanya sakit bukan main, apalagi saat mendapati pewarna bibir perempuan itu berantakan, menyisakan jejak tak beraturan di luar garis bibir.
Lantas, embusan napas panjang yang menyesakkan keluar dari mulutnya, sebelum tangannya menyambar jaket denimnya yang tersampir di tangan sofa, lalu melangkah pergi tanpa mengatakan apa pun.
"Rama?! Mau ke mana?! Ram! Rama!!!"
Fika terus memanggil, tetapi tak dihiraukan. Pikiran Rama terlalu hitam setelah mendapati Rafa berada di kostan Fika. Bukan hanya itu, sesuatu yang disaksikannya dengan mata kepala sendiri membuat pikirannya yang hitam semakin semrawut. Ia dengan jelas melihat bagaimana Rafa mencium Fika, kekasih Rama. Iya, Rafa mencium kekasih Rama. Sekali lagi, Fika itu kekasih Rama. Dan Rafa tahu hal itu.
Ia tak percaya, tetapi penglihatannya sendiri mengharuskannya untuk percaya. Mungkin, jika lelaki itu bukan Rafa, pikirannya tidak akan seberantakan ini sampai kehilangan kata-kata meski banyak yang ingin dilayangkan, termasuk pukulan mentah karena telah berani mencium kekasihnya. Rama benar-benar ingin menghabisi Rafa. Namun, ia tidak bisa karena orang itu Rafa, kakak kandungnya. Satu darah. Satu Ayah. Satu Ibu. Dan sekarang, satu kekasih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Serama (Ayo, Move On!)
FanfictionDiselingkuhi pacar dengan teman sendiri memanglah epic, tetapi pernah tidak diselingkuhi pacar dengan kakak sendiri? Ya, kakak sendiri, kakak kandung, bukan kakak-kakak-an, apalagi kakak adik zone. Benar-benar kakak yang satu ayah, satu ibu, dan sek...