36. Berpisah itu (Tidak) Mudah

363 26 21
                                    

⚠️ Ini panjang banget kayaknya.
⚠️ Awas ngantuk bacanya!

*****

Waktu berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda Rama akan beranjak dari mobil setelah sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Lengkap dengan seatbelt yang masih melilit tubuh, dia terus menggulir layar ponsel, melihat kembali satu per satu foto yang baru ditangkapnya malam ini. Ia baru sadar, dari semua foto yang diambilnya, tidak ada satu pun fotonya dengan Sera. Sejauh jarinya menggulir galeri, ternyata yang dipotretnya hanya hal-hal random yang bisa dilihatnya dengan mudah di internet. Mendengkus, lucunya ada foto antrean eskrim di Jalan Braga sampai hantu-hantu di Jalan Asia Afria, tetapi tak ada satu pun foto—oh, apa ini? Jarinya langsung berhenti menggulir layar saat mendapati satu foto Sera di seberang jalan.

"Ram, gue ngantri eskrim, nanti lo cari tempat makan, ya?"

"Berani ngantri sendiri?"

"Berani lah! Emang gue anak kecil?"

"Hahaha, oke."

Tersenyum, Rama seakan menemukan harta karun di antara foto-foto random yang diambilnya. Ia memperbesar foto tersebut hanya untuk melihat wajah Sera yang saat itu kebingungan mencari celah untuk menyebrang. Awalnya, dia memotretnya diam-diam sambil menunggu perempuan itu bisa menyebrang, tetapi ternyata tidak ada kendaraan yang mau mengalah untuk memberinya jalan. Akhirnya, Rama berinisiatif untuk menyusulnya. Masih terekam jelas diingatannya bagaimana raut bingung perempuan itu berubah jadi senyum merekah saat melihatnya datang menjemput. Kebahagiaannya terpancar jelas dengan kedua tangannya yang terangkat memamerkan eskrim yang baru saja didapatnya. Saat itu, degupan dadanya jadi tak biasa.

Tok. Tok.

Perhatian Rama langsung teralih ketika mendengar kaca mobilnya diketuk dari luar. Melihat mama di sana membuatnya buru-buru menurunkan kaca mobil. "Mama belum tidur?"

"Belum," jawab Mama. "Mama denger suara mobil dari tadi, tapi kamu gak masuk-masuk, jadi Mama susul kesini."

"Oh, iya ini baru mau masuk."

Mama praktis menjauhkan diri saat melihat Rama siap-siap keluar dari mobil. "Dari mana aja? Kok jam segini baru pulang?"

"Abis main," jawab Rama setelah memastikan mobilnya terkunci dengan baik. "Masuk, yuk."

"Sama Tariq?" tanya Mama, mendahului Rama untuk masuk ke rumah.

"Bukan."

"Oh," sahut Mama. "Tariq apa kabar, ya, Ram?"

"Baik," jawab Rama, berbalik sebentar untuk mengunci pintu rumah sebelum kembali menyusul langkah Mama.

"Masalah ayahnya kemarin gimana?"

"Terakhir aku denger hukumannya diringanin jadi tahanan kota," terang Rama. "Aku belum ketemu dia lagi, sih."

Berhenti melangkah di ruang tengah, mama berbalik untuk menatap Rama. "Kapan-kapan ajak dia makan di sini. Terakhir Mama ketemu waktu perpisahan SMA."

"Iya, nanti kalo ketemu dia," ucap Rama. "Aku ke kamar dulu, ya."

"Ram," panggil Mama sebelum Rama berhasil menginjak anak tangga. "Rafa gak ngomong apa-apa ke kamu?"

Rama menggeleng. "Enggak."

"Tapi Rafa bilang kamu sempet nemuin Fika waktu Mama pulang," ucap Mama. "Bener?"

Menarik napas panjang, Rama mengangguk. Si ember itu. Kenapa harus laporan segala? "Iya, sebentar."

"Rafa yang nyuruh?"

Terdiam, Rama tidak ingin menjawab, tetapi melihat mama menatapnya dengan tegas membuatnya kembali mengangguk.

"Kenapa mau?" sambar mama. "Masalah ini bukan urusan kamu lagi, Ram, biar aja mereka yang selesain berdua."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang