"Iya, ini aku baru sampe."
Kakinya melangkah masuk ke halaman rumah. Ia berbalik sesaat untuk mengunci pagar sebelum kembali melanjutkan langkah ke teras rumah.
"Udah dikunci, kok."
Sepasang flat shoes berwarna hitam yang membalut kakinya dilepas. Memperlihatkan bekas kemerahan di tumit akibat terlalu lama mengenakan benda tersebut.
"Aku? Emang sama siapa? Biasanya juga sendiri."
Ujung belakang sepatunya diraih, dijinjing, untuk dibawa masuk bersama.
"Mbak Nia mah cuma sampe sore."
Tangannya yang kosong digunakan untuk merogoh tas sampai menemukan kumpulan kunci yang digantung menjadi satu.
"Ya, emang dibayar Ibu kayak gitu."
Pintu terbuka, perempuan itu masuk ke dalam rumah, lalu kembali mengunci pintunya.
"Bayar aja sama Kak Adit. Aku gak punya uang."
Saklar yang ditekan membuat lampu di ruangan tersebut menyala dengan perlahan. Gelap ke terang, seolah menyambut kedatangannya.
"Kak Adit masih di Jakarta? Belum ada rencana ke Bandung?"
Mendengar jawaban di sebrang sana, kepalanya mengangguk. Ia masih di tempat yang sama, belum beranjak dari ambang pintu utama.
"Aku udah masuk rumah, nih. Udahan dulu, ya? Nanti lanjut lagi. Iya, iya. Daah."
Tangan yang masih memegang ponsel itu langsung terkulai di samping tubuh. Hal pertama yang dirasakan begitu telepon diakhiri adalah sepi. Sejauh mata memandang hanya ada dirinya di dalam rumah. Tidak ada sambutan ketika pintu utama dibuka. Tidak ada sahutan meski ucapan salam terlontar. Tidak ada apa-apa, hanya keheningan yang didapat. Oleh karena itu, tak ada yang ia lakukan selain melangkah semakin dalam, lalu meletakkan tasnya dengan asal di atas meja.
Selembar kertas dari dalam tas jatuh ke permukaan meja, menampilkan nama Kianara Anasera dengan nomor induk mahasiswa jurusan pendidikan di salah satu Universitas Negeri.
Sera melangkah menuju garasi, meletakkan sepatunya di rak, dan kembali melangkah menuju dapur kotor. Ia berhenti di dekat tangga, menanggalkan pakaian terluarnya sebelum menaruhnya di laundry bag. Namun, tangannya berhenti di udara saat melihat hoodie abu di tumpukan teratas cuciannya. Ah, benar. Sudah lebih dari dua hari hoodie itu berada di sana. Apa lelaki itu mencarinya?
Seketika niat untuk menaruh pakaian kotornya urung. Sera memutuskan untuk langsung mencucinya malam ini, bersama dengan hoodie abu milik orang lain yang sudah bermalam di rumahnya selama berhari-hari. Ia kembali teringat dengan repotnya saat mendapat tamu di hari pertama pada saat yang tidak tepat. Lalu, lelaki itu tiba-tiba ada di belakang, menyaksikannya, menanyakan keadaannya, sekaligus meminjamkan hoodie-nya.
Awalnya gengsi, jelas. Tidak mungkin langsung menerima begitu saja bantuan dari orang asing. Namun, lelaki itu tetap bersiteguh memberikan hoodie-nya agar Sera dapat menutup jejak 'tamu' di belakang celananya. Malu, tetapi ia butuh, sehingga mau tak mau menerima pinjamannya. Heran, kenapa perempuan harus diberi gengsi setinggi langit, sih?
Sera belum sempat mencari lelaki itu lagi karena akhir-akhir ini mulai sibuk dengan proposal skripsi. Mungkin besok ia akan mencarinya di kampus, meskipun tak yakin. Dari ribuan mahasiswa, mana bisa menemukan satu orang semudah itu? Pasti sulit. Belum lagi jika ada plot twist ternyata lelaki itu bukan warga kampusnya, semakin sulit lagi menemukan keberadaannya.
***
"Belum ketemu?"
Sera mengangkat wajah, lalu menggeleng. "Belum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serama (Ayo, Move On!)
FanfictionDiselingkuhi pacar dengan teman sendiri memanglah epic, tetapi pernah tidak diselingkuhi pacar dengan kakak sendiri? Ya, kakak sendiri, kakak kandung, bukan kakak-kakak-an, apalagi kakak adik zone. Benar-benar kakak yang satu ayah, satu ibu, dan sek...