2007. Pukul enam sore, suara mesin mobil membuat Sera terperanjat dari tidurnya. Meninggalkan televisi yang menyala, kaki kecil perempuan itu lari terbirit-birit keluar rumah. Dilihatnya mobil kijang sang ayah sudah terparkir di halaman. Tak pelak hal itu menerbitkan senyum cerah di wajahnya apalagi ketika melihat sosok yang ditunggu-tunggunya sejak tadi keluar dari mobil.
"Ayaaah!"
"Seraaa!"
Tubuh mungil Sera yang hanya setinggi perut Ayah langsung berhambur ke dalam dekapan. "Ibu mana?"
"Di sini, Sayang."
"Ibu---" Suara riang Sera justru berhenti di ujung lidah saat melihat sang ibu keluar dari mobil bersama seorang anak laki-laki yang tidak dikenalinya.
"Mulai sekarang, Adit tinggal di sini, ya?" Ibu berjongkok, menyamakan tingginya dengan anak laki-laki asing tersebut. "Jangan takut, Adit enggak akan diapa-apain di sini." Ia tersenyum hangat sebelum mengalihkan tatapan pada anak semata wayangnya yang masih mendekap tubuh sang ayah. "Sera, ke sini. Kenalan dulu sama Kak Adit."
Bukannya mendekat, Sera malah beringsut mundur, menyembunyikan diri di balik tubuh tinggi Ayah.
"Kok ngumpet, sih?" Ayah turut berjongkok, menarik lembut tangan Sera yang melingkari perutnya. "Sekarang Sera punya Kakak. Enggak senang?"
Ibu masih tersenyum saat kembali menatap Adit. "Ini Sera, anak kami, masih kelas tiga SD. Beda empat tahun sama Adit, ya?"
Tidak ada jawaban dari anak laki-laki kurus kering itu selain menatap gamang keluarga asing di hadapannya.
"Mana tangannya? Salaman dulu sama Kak Adit." Ayah kembali bersuara, meraih tangan Sera sendiri, lalu mengulurkannya ke depan. "Halo, Kak Adit. Aku Sera."
Meski cara perkenalan ini sedikit dipaksa, Sera tidak menarik tangannya menjauh. Ia justru menunggu anak laki-laki yang diketahui bernama Adit itu menyambut uluran tangannya. Namun, hingga detik berlalu, tidak ada respons apa-apa dari Adit. Mulai merasa pegal karena tak kunjung disambut, perempuan berusia sembilan tahun itu nyaris menarik kembali tangannya, sebelum sekonyong-konyong Adit membalas jabatannya.
"Adit."
Ini perkenalan pertama mereka, dan Sera merasa ada yang berbeda dari sosok Adit. Telapak tangan kurus itu terasa dingin. Ditambah dengan jejak menghitam di lengan Adit yang membuatnya bertanya-tanya. Jejak itu, persis seperti bekas memarnya gara-gara dicubit anak tetangga. Hanya saja, di tangan Adit bekas itu dalam jumlah banyak, berhias di sepanjang lengannya. Apa mungkin dia sering dicubit anak tetangga?
"Yang akur, ya, anak Ayah sama Ibu."
Baik Adit maupun Sera masih bungkam, bahkan ketika Ayah dan Ibu mendekap tubuh mereka bersamaan.
Kira-kira, butuh berapa lama untuk saudara baru saling mengenal? Satu minggu? Satu bulan? Satu tahun?
Hubungan Adit dan Sera tidak berjalan lancar. Dengan kata lain, Adit susah sekali didekati. Anak laki-laki itu pendiam, tidak banyak bicara, dan terlalu tertutup. Hari-harinya selalu dihabiskan di dalam kamar. Tak mempan meski sering diajak main. Sebenarnya, Sera sama sekali tidak mempermasalahkan kehadiran Adit. Dari mana asalnya, kenapa tiba-tiba menjadi kakaknya, bagaimana kehidupannya, dan lain-lain. Ia sudah cukup paham dengan pengertian dari Ayah dan Ibu, bahwa Adit merupakan anak teman lama mereka yang telah meninggal akibat kecelakaan pesawat. Akan tetapi, lima tahun kemudian, dirinya baru tahu mereka berbohong.
2012. Bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi nyaring saat matahari sedang rajin-rajinnya memancarkan sinar. Bertepatan dengan itu, ponsel BlackBerry---yang beberapa bulan lalu dihadiahi Ayah karena berhasil masuk ranking tiga besar---mengeluarkan denting khas dari kantung rok birunya. Didapati BBM dari kontak Ibu yang dibubuhi emot hati dan peluk pada nama tampilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serama (Ayo, Move On!)
FanfictionDiselingkuhi pacar dengan teman sendiri memanglah epic, tetapi pernah tidak diselingkuhi pacar dengan kakak sendiri? Ya, kakak sendiri, kakak kandung, bukan kakak-kakak-an, apalagi kakak adik zone. Benar-benar kakak yang satu ayah, satu ibu, dan sek...