13. Cerita Kala Hujan

936 248 4
                                    

Sepertinya julukan kota hujan tidak hanya berlaku untuk Kota Bogor saja, tetapi juga untuk Kota Bandung. Intensitas hujan di kota ini cukup sering, bahkan di musim kemarau seperti sekarang. Baik pagi atau malam, hujan turun tak kenal waktu. Entah iklim yang mulai tidak baik atau memang Bandung berniat menyaingi Bogor.

Namun, masih banyak orang yang menyukai hujan. Mereka bilang, hujan itu menenangkan, apalagi saat mencium baunya setelah bersatu dengan tanah; petrichor. Lebih daripada itu, suara gemericik hujan dapat menjadi penghantar tidur yang baik untuk sebagian orang. Sera akui, memang nikmat bergelung di bawah selimut sambil mendengarkan suara hujan. Hanya saja, kenikmatan itu tidak berlaku jika disertai dengan guntur.

Sambil merapalkan nama Allah dalam hati, wajah Sera mengernyit saat melihat kilatan petir di langit. Untuk beberapa detik, warna langit berubah menjadi terang sebelum kembali gelap bersamaan dengan suara guntur yang besar, dan itu terdengar menakutkan. Ia memilih untuk menundukkan kepala agar tidak kembali bersitatap dengan petir.

Tidak berbeda jauh dengan Sera, kondisi Rama juga sama. Ia beberapa kali tersentak ketika mendengar suara gemuruh guntur yang cukup menggelegar. Entah berapa lama lagi mereka harus menetap di tempat ini. Hujan malah semakin deras, dan angin terus bertiup kencang sampai membuat dahan pohon berjatuhan.

"Hik."

Suara itu mengalihkan perhatian Rama dari hujan. Ia langsung mencari sumber suara, dan mendapati Sera sedang menundukkan kepala dengan pundak yang tampak berguncang kecil sesekali. Dengan gerakkan panik, ia menyondongkan wajah untuk melihat keadaan Sera lebih jelas.

Merasakan angin hangat menerpa wajah membuat Sera mendongak, dan tersentak kaget saat mendapati wajah Rama di depan mata. Ia hampir terjengkang ke belakang jika saja Rama tidak bergerak reflek menahan tangannya.

"Sorry, sorry. Gue ngagetin, ya?" tanya Rama tak kalah kaget karena telah membuat Sera kaget.

"Iya!" seru Sera, sebal. Ia mendengus, lalu menarik tangannya dari pegangan Rama. "Hik."

Suara itu lagi. "Gue kira lo nangis," cicit Rama.

"Eng---hik---gak," Sera menarik napas panjang sambil memejamkan mata saat cegukan memotong perkataannya. Ia membuka mata, dan menatap Rama dengan tenang. "Cuma ce---hik---gukan. Kalem, kalem."

Namun, Rama masih menatap Sera tak enak. "Maaf, Ra."

Alis Sera mengerut samar. "Buat? Hik."

Rama tak menjawab. Ia hanya terdiam menatap Sera yang terus berperang dengan cegukannya. "Yah, maaf aja," tuturnya sambil mengalihkan tatapan ke arah lain.

Sera sekonyong-konyong tertawa. "Apaan, sih? Hik."

Senyum Rama muncul saat mendengar tawa renyah Sera yang diinterupsi suara cegukan.

Lalu, ia mengalihkan pandangan ke luar, pada motor matic hitamnya yang semakin mengkilap karena terus diguyur hujan. Belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti sejak turun satu jam yang lalu---tepatnya ketika baru jalan lima ratus meter dari tempat makan---hingga mengharuskan mereka untuk berteduh, karena hujan terlalu deras untuk diterobos dengan motor. Untungnya, ada Warung Burjo (Bubur Kacang Ijo) yang dapat disinggahi.

Rama menatap sisa bubur kacang hijau dalam mangkuk. Alasan kepergiannya itu karena Rafa dan Fika, sehingga tanpa sadar malah turut membawa Sera dalam kubangan masalah. Lagi, ia menoleh ke samping, menatap Sera dalam diam. Ada rasa tidak enak saat mendapati perempuan itu tampak kelimpungan melawan cegukan. Beberapa kali ia melihatnya menepuk dada sendiri agar cegukan itu berhenti.

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang