Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.
Kalimat itu mungkin sudah tak asing lagi untuk sebagian orang. Berderet panjang menghiasi dinding JPO di kawasan Asia Afrika, Bandung. Bak sebuah ikon kota, tak sedikit orang yang menepi hanya untuk mengabadikan diri di sana. Entah sudah berapa juta orang yang menjadikan sepenggal kalimat yang dikutip dari buku seorang budayawan asal negeri sebrang itu sebagai latar belakang foto. Terdengar manis, memang. Cocok untuk konten ala-ala di sosial media. Meski masih menjadi misteri mana yang benar di antara dua kemungkinan : kutipan itu yang membawa kota ini menjadi kota romantis, atau kalimat itu tercipta setelah merasakan keromantisan kota ini? Jawaban tergantung pendapat masing-masing.
Omong-omong, bicara soal keromantisan kota, kawasan Braga mungkin jadi salah satu lokasi utama yang menjadi bukti atas julukan tersebut. Atmosfer kota tua yang sengaja tak diurug oleh pemerintah setempat menambah kesan romantis dari jalan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda ini. Gedung-gedung ikonik dengan gaya artdeco masih berdiri kokoh di sepanjang jalan. Ditambah lukisan yang terpampang sepanjang jalan trotoar semakin memanjakan mata sejauh mana memandang. Siapa pun berani menjamin, hanya sekadar jalan-jalan di trotoar sambil menikmati pemandangan Braga saja sudah jadi healing terbaik. Serius.
Begitu pula dengan Sera dan Rama. Pada akhirnya, Braga jadi tujuan mereka setelah sekian lama berpikir dan mencari, tetapi tidak terlintas satu tempat pun untuk dikunjungi. Ujung-ujungnya mereka dengan praktis memilih lokasi pasaran yang ramai akan pengunjung. Meski sedikit mengeluh karena susah parkir, pilihan ini tidak terlalu buruk karena memang tempat ini tak pernah salah. Suasana kota tua membuat setiap pergerakan manusia di kawasan ini tampak indah.
"Ra, mau nyoba eskrim itu, nggak?"
"Boleh."
"Mau nyoba bacang viral nggak, Ra?"
"Ayo."
"Ngantre banget, Ra. Gimana, nih?"
"Ih, iya. Gak usah, deh, Ram. Nanti lagi aja."
"Mau ke kafe Jurnal Risa nggak?"
"Mau jalan aja, ah, Ram."
"Nanti ke Indomaret Point dulu, ya, Ra?"
"Oke, Ram."
"Eh, masih ada bule, Ra!" bisik Rama sambil menoel lengan Sera berkali-kali.
"Huh?" sahut Sera. "Bukannya udah biasa, ya, ada bule di sini?"
"Nggak, gue jadi inget dulu tiap pulang sekolah suka ikut temen nyari bule di sini."
"Serius?" sahut Sera nyaris tertawa geli. "Buat apa?"
"Buat pamerlah! Bangga tau, Ra, bisa foto sama bule."
Sera terkekeh. "Terus sekarang masih mau?"
"Nggaklah, ngapain?"
"Kan bisa buat pamer di story."
"Kalo Ariana Grande mah gapapa dipamerin."
"Emang dulu yang dipamerin Ariana Grande?"
"Ya ... bukan juga, sih. Tapi 'kan udah beda jamannya. Dulu mah ikut-ikut biar keliatan gaul aja, Ra," bela Rama.
Sera mencebik dengan ekspresi mengejek.
"Gini-gini juga anak gaul kota cuma gak ikut geng motor aja kayak Dilan."
"Owh, ngerinya ... barudak gaul kota."
Melihat ekspresi nyinyir Sera membuat Rama mendengkus geli, lalu serta-merta menjawil hidung perempuan itu. "Jelek. Ngeledek banget mukanya."
Sera terkekeh sambil mendorong tangan Rama yang masih bertengger di hidungnya. Ia kembali menunjuk salah satu turis asing yang sedang melihat-lihat lukisan di pinggir jalan. "Tuh, barudak gaul, banyak bulenya. Sana foto mumpung masih di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serama (Ayo, Move On!)
FanfictionDiselingkuhi pacar dengan teman sendiri memanglah epic, tetapi pernah tidak diselingkuhi pacar dengan kakak sendiri? Ya, kakak sendiri, kakak kandung, bukan kakak-kakak-an, apalagi kakak adik zone. Benar-benar kakak yang satu ayah, satu ibu, dan sek...