25. Mengguncang Rasa dan Logika

1K 251 35
                                    

"Kenapa kamu tidur di kamar tamu terus?"

Pertanyaan Mama membuat Rama sontak mengalihkan perhatian dari televisi. "Kamar aku berisik."

"Makanya jangan suka nyetel lagu malem-malem."

"Bukan karena lagu," sanggah Rama, kembali menatap layar televisi di hadapannya. "Suara lain. Bikin panas."

"AC-nya rusak lagi, ya?" tukas Mama, menjilat ujung benang sembari mendongakkan kepala dengan mata menyipit. "Subhanallah, mata udah gak bisa liat gini. Tolong masukin benang ini, Ram. Mama gak keliatan."

Tanpa mengatakan apa-apa, Rama menerima sehelai benang dan jarum yang diberikan Mama, kemudian menyatukan dua benda itu dalam sekali percobaan tanpa teknik jilat-menjilat seperti yang dilakukan oleh Mama.

"Memang, mata anak muda," sanjung Mama, menerima kembali alat menjahitnya dari Rama, lalu melanjutkan lagi pekerjaannya memperbaikki karet celana yang sudah kedodoran. "Nanti Mama panggilin tukang AC, deh."

"Ngapain?" tanya Rama, setengah mencibir. "Enggak bakal ngaruh." Kecuali kalau Rafa sama Fika pergi.

"Diperbaiki dulu sebelum ganti baru. Lagian AC di kamar kamu belum ada tiga bulan, kok."

Berani bertaruh tidak akan berhasil. Lagipula, jika hanya pendingin ruangan di kamar yang rusak, Rama tak akan sampai mengungsi ke kamar tamu. Ia bukan tipe orang yang harus berada di ruangan dingin untuk bisa tidur. Cuaca di sini masih dalam batas wajar jika dibandingkan dengan daerah Ibukota. Meski tanpa pendingin ruangan, tidurnya tetap nyenyak. Kembali lagi, jika pendingin ruangan yang menjadi titik permasalahan, mungkin hanya tubuh luarnya saja yang kepanasan. Namun, faktanya yang dalam juga ikut panas. Jelas, itu karena masalahnya bukan bersumber dari pendingin ruangan yang rusak, melainkan dari dua orang yang saat ini sedang menuruni anak tangga.

"Mau ke mana, Raf?"

"Mau keluar dulu sebentar, Ma."

"Kalo bisa jangan balik lagi," celetuk Rama, tanpa menatap Rafa dan Fika yang baru tiba di ruang tengah.

Dari atas sofa, Mama memberi teguran dengan decakan sambil menepuk Rama yang sedang duduk di karpet. "Hujan-hujan gini? Pulang jam berapa kira-kira?" Ia kembali beralih pada Rafa dan Fika.

"Kurang tahu, Ma. Ini mau ketemu temen lama."

"Ya, udah. Pintunya enggak Mama kunci, ya."

Rafa mengangguk, lalu menyalami tangan Mama yang langsung diikuti oleh Fika. "Berangkat dulu, Ma." Ia berpamitan, sebelum beralih pada lelaki yang tidak menghiraukannya sama sekali. "Ram, lusa kami mau nginep di rumah Fika. Lo bisa tidur di kamar lagi nanti. Sorry, ya, pasti berisik banget tiap malem sampe ngungsi ke kamar tamu."

Pernyataan itu membuat Rama serta-merta mendongak. "Bacot, anjing."

"Uluh, bagus banget ngomongnya," tegur Mama, menarik pelan daun telinga Rama. "Gak lihat masih ada Mama di sini?"

"Ah, Mama mah! Orang dia yang mulai," rajuk Rama, menunjuk Rafa tak terima.

"Dah, dah. Cepet pergi sana, Raf," usir Mama, menggedikan dagu agar Rafa dan Fika segera pergi.

"Pergi dulu, Ma." Fika yang sedari tadi diam mulai bersuara sambil melirik ke arah Rama yang duduk di karpet, menunggu reaksinya. Namun, lelaki yang pernah menjalin kasih dengannya itu tak menghiraukan, bahkan tidak meliriknya sama sekali, tetap fokus pada siaran berita di televisi.

"Hati-hati, ya."

Kepergian sepasang pengantin baru itu menyisakan Mama dan Rama hanya berdua di rumah. Biasanya ada Bi Yati, tetapi dua hari lalu dia pulang ke kampung halaman karena anak ketiganya akan menikah.

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang