16. Ancaman?

1K 245 15
                                    

Adit menutup pintu mobil, lalu mengambil ponselnya yang tertinggal di dashboard. Notifikasi dari Sera dua jam yang lalu memenuhi layar kunci. Tiga di antaranya adalah panggilan tak terjawab, dan enam yang lain merupakan sebuah pesan. Ia lantas menekan layar hingga menampilkan ruang obrolan bersama Sera, dan sontak mencelos saat membaca isi pesannya yang memberitahu jika adiknya itu demam dari semalam.

Dengan segera, Adit menghubungi Sera, tetapi hanya mendapat nada sambung yang berujung panggilan tak terangkat. Ia tak menyerah, dan terus menghubungi sampai akhirnya pada panggilan ke empat tak membuahkan hasil, barulah menyerah. Satu-satunya yang terlintas di pikiran adalah menghubungi Mbak Nia---wanita yang selalu membantu di rumah---dan minta tolong padanya. Lantas, sambil menghubungi Mbak Nia, lelaki berbadan tinggi ini segera memasang sabuk pengaman, lalu menarik gigi mobil untuk melesat pergi menuju rumah.

Mobilnya berhenti di depan rumah tiga puluh menit kemudian. Adit langsung keluar, dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan langkah panjang. Namun, sebuah motor matic hitam yang terparkir di halaman membuatnya berhenti sejenak, ditambah dengan sneakers putih berlogo centang di masing-masing sisinya, tersimpan rapi di bawah teras rumah. Terlalu besar untuk ukuran sepatu perempuan. Ia kembali melanjutkan langkah dengan tanya, dan masuk ke dalam rumah setelah melepas sepatu hitamnya.

"Kayak gue mau mati detik itu juga, Ra."

Benar, suara laki-laki. Adit mengikuti suara tersebut yang membawanya menuju dapur bersih, dan sedikit terkejut saat mendapati Sera tengah duduk berhadapan dengan seorang lelaki sambil tertawa lepas.

"Ra?" panggilnya membuat mereka menghentikan tawa sambil menoleh bersamaan.

"Kak Adit?"

Adit mengalihkan pandangan pada lelaki di hadapan Sera. Asing dan berbeda, dia bukan lelaki yang ditemuinya di acara pernikahan beberapa waktu lalu.

"Oh, ada tamu," ujarnya sambil melirik lelaki tersebut sekilas sebelum menjatuhkan tatapan pada Sera. "Temen kamu?"

"Ah, iya. Ini Rama," jawab Sera sambil menunjuk Rama untuk dikenalkan pada Adit sebelum ganti mengenalkan sosok Adit kepada Rama. "Ram, ini Kak Adit."

Tak ada sambutan selama beberapa detik ke depan selain keheningan. Hingga akhirnya Rama menyadarkan diri, lalu berdiri dan bergerak maju menghampiri Adit sambil mengulurkan tangan. "Rama."

Adit mengangguk, dan menyambut uluran tangan Rama. "Adit."

Hanya itu. Mereka tak memperkenalkan diri lebih lagi sampai pagutan tangan terlepas, dan kembali ke tempat masing-masing.

"Udah lama?" tanya Adit sambil bergerak maju mendekati Sera. "Ram?" Ia kembali menatap Rama setelah berdiri di sisi Sera.

"Oh, enggak. Ini baru dateng ... Mas." Demi Tuhan, Rama bingung harus memanggil Adit apa.

Adit mengangguk, lalu mengalihkan perhatian pada Sera. "Kenapa kamu gak bilang dari semalem sih kalo sakit?"

"Cuma demam," kilah Sera.

"Kalo dibiarin nanti bisa tambah parah!" omel Adit sambil menyentuh kening Sera dengan punggung tangan.

"Ih, aku enggak apa-apa," Sera menepis pelan tangan Adit dari keningnya. "Jangan berlebihan, deh. Minum obat juga sembuh."

"Udah belum?" tanya Adit yang kemudian menarik kursi kosong di samping Sera.

"Ini baru mau makan."

"Jam segini baru makan? Astaga." Adit menggeleng tak habis pikir.

"Apaan, sih? Biasanya juga gitu."

"Jangan dibiasain."

"Udah biasa."

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang