"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi---"
Mendengkus, Sera menekan ikon merah dilayar dengan penuh kekesalan. Lebih dari lima kali dirinya mencoba menelepon Adit, tetapi selalu diakhiri oleh operator karena lelaki itu tak kunjung mengangkatnya. Jam menunjukkan pukul 22.13 saat layar ponselnya terkunci. Ia menghela napas pelan, lalu kembali melakukan percobaan menghubungi Adit sambil harap-harap cemas. Kuku jarinya digigiti saat mendengar suara nada sambung di penghujung telepon. Cukup lama, hingga akhirnya suara operator kembali menyambut dengan template yang sama.
"Kak Adit," desah Sera, rasanya ingin menangis detik ini juga.
"Masih gak diangkat?"
Sera menoleh, hampir melupakan keberadaan Rama yang setia menunggu di balik kemudi. "Iya," jawabnya sembari mengembuskan napas. "Maaf ngerepotin, Ram."
"Terus gimana?" tanya Rama, mengabaikan permintaan maaf dari perempuan itu.
Tak langsung dijawab. Sera tampak berpikir dengan alis yang berkerut cemas. "Eung, gue kayaknya mau ke kosan temen."
Rama mengalihkan perhatian sepenuhnya pada perempuan yang masih berbalut kebaya di sampingnya. "Siapa?"
"Sarah?" cicit Sera, tak yakin.
Mendengar nama itu, mata Rama serta-merta melebar. "Yang bener aja, Ra!? Ini udah malem. Kosan Sarah jauh."
"Ya, terus gimana!?" sergah Sera, menatap lelaki di sampingnya dengan frustasi. Nada suaranya meninggi, tetapi bergetar di saat yang sama, berusaha menahan tangis.
Rama mengembuskan napas pelan, memerhatikan penampilan Sera yang sudah tidak karuan. Beberapa helai rambut keluar dari gelungannya. Tidak ada wajah berseri yang dilihatnya tadi pagi. Yang ada hanya raut penuh kecemasan. Ia kemudian mengalihkan tatapan pada rumah tingkat tiga di depannya. Halaman yang kosong menguatkan bukti bahwa penghuni rumah tersebut sedang tidak ada.
"Mbak Nia," gumam Sera, membuat Rama kembali menatapnya. "Kayaknya Mbak Nia nyimpen kunci rumah."
"Mbak Nia?"
Sera segera mencari kontak Mbak Nia---asisten rumah tangganya---di ponsel. Namun, sampai kontak berakhir di urutan huruf terakhir, nama itu tak kunjung ditemukan. "Kok gak ada, ya?" gumamnya, kembali menggulir layar ke atas, lebih pelan agar tak ada yang terlewat. Hasilnya tetap sama. Kontak Mbak Nia mendadak hilang ketika diperlukan. "Huhu, enggak ada."
Tanpa perlu bertanya, Rama sudah bisa menebak dari raut wajah Sera bahwa orang bernama Mbak Nia itu tak dapat diharapkan membantu. "Lo mau ke rumah gue?"
Penawaran itu membuat Sera menoleh cepat dengan mata yang melotot kaget.
"Tunggu di rumah gue sampai Mas Adit pulang," sambung Rama. "Atau mau nginep?"
"Apa? Enggak!"
"Ada mama, kok," pungkasnya, sebelum menimbulkan kesalahpahaman. "Oh, ada anin gue juga dari kampung."
Ekspresi kaget Sera memudar perlahan. Ia menatap Rama beberapa saat, sebelum mengalihkan tatapan ke depan, lalu menunduk lemas. "Enggak, deh. Gak enak sama nyokap lo."
"Kayak baru pertama ketemu Mama aja," celetuk Rama, kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ia mencari kontak yang disimpan dengan nama 'Ibu Negara', lantas segera menghubunginya. Seperti biasa, di nada sambung terakhir, panggilannya baru dijawab. "Wa'alaikumsalam. Ma, udah sampe rumah? Aku masih di rumah Sera. Iya, tapi di rumahnya gak ada siapa-siapa. Enggak ada. Enggak ada juga. Eiy, kalau gak ada siapa-siapa ya berarti kosong, atuh. Justru itu. Mau aku ajak ke rumah. Boleh, gak? Tapi Sera gak mau, gak enak sama Mama, ceunah." Ia melirik Sera sebentar, dan langsung mendapat delikan tak terima karena telah membocorkan perkataannya. "Di pinggir aku. Iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serama (Ayo, Move On!)
FanfictionDiselingkuhi pacar dengan teman sendiri memanglah epic, tetapi pernah tidak diselingkuhi pacar dengan kakak sendiri? Ya, kakak sendiri, kakak kandung, bukan kakak-kakak-an, apalagi kakak adik zone. Benar-benar kakak yang satu ayah, satu ibu, dan sek...