17. Fakta Pahit

1.2K 258 105
                                    

Bayangan Mama samar-samar terlihat dari balik gelas yang sedang singgah di mulut Rama. Begitu gelas dijauhkan, sosok wanita itu semakin jelas terlihat sedang berjalan menghampiri, kemudian menyodorkan selembar kertas panjang tanpa mengatakan apa-apa.

"Apa?" Rama menunduk pada kertas tersebut sebelum mendongak kembali pada Mama.

"Tiket pesawat."

Kedua alis Rama terangkat. "Aku diusir?"

Berdecak, Mama menggeplak pelan lengan atas Rama. "Lihat dulu, baru ngomong!"

Rama mencebik, lalu meletakkan gelasnya di wastafel sebelum mengambil alih tiket pesawat yang dipegang Mama. Alisnya hampir bertemu di tengah saat membaca kota tujuan yang terpatri pada selembar tiket tersebut, "Balikpapan?" Ia mengangkat kepala dan kembali menatap Mama. "Maksudnya?"

"Papa mau ketemu kamu," jawab Mama. "Itu tiket buat kamu berangkat lusa."

Diam, Rama hanya menatap Mama.

"Eh, kamu ada bimbingan? Rabu besok?"

"Enggak tau, belum ada kabar lagi dari dosennya."

"Libur dulu aja," suruh Mama. "Tiketnya kagok dibeli buat hari Rabu."

Rama terdiam sesaat sebelum mengangguk.

"Oh, iya Rafa mau kenalin Fika ke Papa, jadi ikut sekalian," terang Mama. "Gapapa, 'kan?"

Rama sontak tertegun. Apa ini? Jadi bukan hanya dirinya yang pergi?!

"Gapapa, Ram?" tanya Mama sekali lagi.

"Huh?" Rama mendadak linglung. "Y-ya, udah. Lagian sayang tiket udah dibeli," cicitnya sembari menunduk pada secarik kertas di tangan. Entah, membayangkan berada dalam perjalanan yang sama dengan Fika dan Rafa membuat perasaannya tidak enak. Ia mengembuskan napas pelan, lalu menatap Mama. "Aku ke kamar dulu."

"Rama," panggilan Mama membuat langkah Rama berhenti dan kembali menoleh. "Mama nyuruh kamu ke sana bukan untuk antar Rafa sama Fika, tapi ketemu Papa."

"Hm, iya."

"Jangan marah," pinta Mama menatap Rama dengan lembut. "Hilangkan dulu ego kamu, demi Papa. Hm?"

Rama terdiam beberapa saat, lalu mengangguk pelan.

"Kalo ada apa-apa, bilang sama Mama."

"Iya."

"Pokoknya kamu harus jaga sikap. Tutup mata, tutup telinga. Jangan gampang kepancing. Jangan---"

"Ma," potong Rama. "Aku gak marah." Ia mempertegas dengan nada lembut. "Mama jangan khawatir. Paling, kami cuma saling tenggelamin di laut."

Mata Mama melebar. "Jangan ngada-ngada!"

***

Ponsel Rama tak berhenti bergetar. Saat dilihat, notifikasi dari Mama memenuhi layar kunci. Rentetan pesan yang hampir semuanya berisi kekhawatiran dan peringatan untuk selalu hati-hati, serta presensi barang-barang penting yang kemungkinan ditinggalkan.

Ibu Negara
Masih dimana?
Rafa sama Fika ada?
Kenapa gak jawab?
Udah terbang?
Kalo udah nyampe kabarin mama
Telpon mama
Rama
Ada yg ketinggalan gak?
Casan kamu gak ketinggalan kan?
Kamu bawa baju berapa?
Cukup segitu?
Jangan lupa makan
Jangan aneh2 disana
Jangan berantem sama Rafa!
Cepet kabari mama
Kalo ada apa2 cepet kasih tau mama
Rama
Kenapa chat mama gak dibalas?

Satu, dua, ... lebih dari sepuluh bubble chat Mama memenuhi ruang obrolan. Kalau begini ceritanya, Rama tidak butuh pacar lagi. Cukup pergi jauh saja agar ponselnya diramaikan oleh pesan dari Mama.

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang