1. Hari Pertama

4.2K 415 15
                                    

Jari Rama berhenti menggulir layar ketika postingan Fika muncul di beranda. Ia tertegun menatap foto yang diunggah perempuan itu. Mengamati dengan seksama wajah yang sudah lama tak dilihatnya melalui layar. Tak ada yang berubah. Fika tetap menawan. Senyumnya masih manis. Matanya yang menghilang ketika garis bibir itu tertarik ke atas menjadi daya tarik tersendiri. Sosok yang ia kagumi itu masih sama seperti satu tahun lalu.

Embusan napas pendek keluar dari mulut Rama. Ia menekan kunci layar, menghempas ponselnya ke samping tubuh, lalu mengusap wajahnya. Sebesar apa pun keinginannya untuk melupakan Fika, benteng pertahanannya tetap akan luruh hanya dengan melihat perempuan itu. Entah karena terlalu lemah atau memang dirinya tak seniat itu melupakan Fika.

Ah, mungkin dua-duanya benar. Logikanya memang berkata ingin melupakan Fika, tetapi hatinya masih menginginkan perempuan bermata kecil itu kembali. Keinginan dalam satu tubuh yang bertolak belakang.

Sudah lebih dari satu tahun, Rama belum benar-benar merelakan Fika bersama Rafa. Ia tak pernah ikhlas melihat kebersamaan mereka. Sampai detik ini, masih banyak pertanyaan yang bersarang di kepalanya dan tak pernah terjawab---lebih tepatnya, ia sendiri yang tak berani untuk menanyakan hal itu. Nyalinya ciut. Terlalu banyak ketakutan jika mendengar jawaban yang tak diharapkan.

Kesadarannya kembali saat menangkap bunyi getaran di sekitarnya. Rama sontak menoleh ke samping bawah, dan melihat ponselnya yang tadi terkunci kini menyala dengan cahaya layar yang meredup perlahan. Ia lantas mengambil benda pintar itu, melihat notifikasi yang diterima melalui layar kunci.

"Si anjing," makian serta-merta keluar dari mulutnya saat membaca pesan masuk dari Tariq yang mengatakan dia menunggu di parkiran depan.

Tanpa membalas pesan tersebut, Rama beranjak pergi dari gazebo menuju parkiran depan sambil misuh-misuh dalam hati. Tariq sendiri yang memintanya untuk menunggu di gazebo belakang, tetapi dia juga yang mengubah tempat seenak jidat. Ya, kalau jarak gazebo dan parkiran hanya selangkah tidak masalah. Nyatanya jarak mereka dari ujung ke ujung. Memang menyusahkan. Dari jaman SMA sampai sekarang tak pernah berubah. Ia kadang heran kenapa masih tahan berteman dengan lelaki sialan itu selama tujuh tahun---dari kelas 10 sampai saat ini. Oh, benar. Tariq anak rektor, jadi Rama tahan agar namanya tetap dikenal baik oleh petinggi kampus itu.

Koridor FKIP* tampak lengang pada hari Sabtu. Tak banyak mahasiswa kelas reguler yang mendapat kelas saat akhir pekan. Biasanya, kelas aktif hanya ada pada Hari Senin hingga Jumat, kecuali jika ada kelas pengganti. Akhir pekan memang waktu terbaik bagi dosen menggantikan kelas kosong sekaligus waktu terbaik mengganggu liburan mahasiswa.

(*FKIP : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan)

Langkah Rama melambat ketika melihat seorang perempuan berjalan dua meter di depannya. Ia dibuat salah fokus dengan sebuah buku yang dipegang perempuan itu untuk menutupi bagian belakangnya. Ditambah dengan tangan lain yang berusaha merogoh tasnya. Entah apa yang terjadi pada perempuan itu, tetapi dari gerak-geriknya tampak jelas jika dia sedang kerepotan. Terlalu repot hingga membuat buku yang dipegangnya lepas dari tangan begitu saja.

Kaki Rama sontak berhenti melangkah. Ia langsung paham saat melihat noda merah pekat yang melingkar di belakang celana perempuan itu. Pantesan ribet, batinnya.

Perempuan itu berbalik, hendak mengambil bukunya kembali, tetapi tangannya tertahan di udara ketika melihat sepasang kaki berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mendongak, dan serta-merta memekik ketika bersitatap dengan Rama.

"Jangan liat!" serunya.

Dengan gelagapan, Rama mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Sorry, gue enggak sengaja."

Tak ada balasan.

Hal itu membuatnya kembali menoleh pada perempuan itu. "Lo ... enggak apa-apa?" Ia bertanya hati-hati.

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang