6. Pertanyaan Tanpa Jawaban

1.2K 262 17
                                    

"Cuci tangan dulu!"

"Iya."

Begitu selesai cuci tangan, Rama langsung melenggang pergi ke kamar, meninggalkan Mama dan Fika yang sedang memeriksa perlengkapan lamaran. Ia menutup pintu kamar dengan rapat sebelum duduk di tepi kasur, lalu meletakkan tas kertas dari Fika di atas nakas, dan menatapnya dalam diam.

Satu hal yang tak terduga kembali terjadi hari ini. Tak pernah sedikit pun terlintas dalam benak Rama akan mendapat hadiah dari Fika. Ia bahkan tak pernah memberitahu tentang jadwal seminar proposalnya kepada Fika. Entah dari mana perempuan itu mengetahuinya. Namun, hadiah itu nyata. Benar-benar ada di depan mata dan membuat imannya kembali goyah. Egonya semakin berteriak menginginkan perempuan itu kembali.

Kenapa perasaannya malah terombang-ambing seperti ini?

Menghela napas panjang, Rama meraih tas kertas tersebut, lalu mengeluarkan benda di dalamnya. Ia menatap hoodie pemberian Fika selama beberapa saat sebelum mencoba memakainya kemudian.

Perasaannya semakin tidak karuan ketika mematut diri dalam cermin, dan melihat hoodie itu benar-benar menempel di tubuhnya. Ia tidak tahu harus merasa senang atau sedih menerima hadiah ini. Pada satu sisi, mengingat Fika memang menyakitkan, tetapi pada sisi lain perempuan itu tetap menyenangkan.

Suara ketukan di pintu kamar membuat perhatian Rama beralih.

"Iya?" sahut Rama sambil berjalan menuju pintu tanpa melepas hoodie di tubuhnya terlebih dahulu. Ia menarik knop pintu, dan sosok Mama kembali menyambut saat pintu terbuka. "Ada apa, Ma?"

"Kamu lagi ngapain?" Mama malah bertanya balik sambil melongokkan kepala ke dalam untuk melihat keadaan kamar. "Lagi sibuk?"

Rama menggeleng. "Kenapa?"

"Kalo enggak sibuk, bisa anterin Fika pulang?" tanya Mama.

Nama itu membuat tubuh Rama menegang. Hah, lagi-lagi Fika. "Rafa ke mana?"

"Masih di kopi. Katanya ada masalah di dapur, jadi enggak tahu pulangnya jam berapa," papar Mama. "Tolong Mama sekali lagi, ya? Antar Fika pulang. Kasian kalo pulang sendiri."

Rama hanya termangu menatap Mama. Logika dan hatinya kembali berdebat. Mau sekeras apa pun berlari, keberadaan Fika memang tak dapat dihindari. Ia menelan saliva dengan susah payah sebelum akhirnya mengangguk pelan. Dirinya tak bisa membantah. Entah karena permintaan Mama atau sesulit itu mengabaikan Fika.

***

Tak ada pembicaraan yang terjadi selama perjalanan. Baik Rama ataupun Fika sama-sama hening di tengah keramaian. Padahal, Rama sengaja mengantar Fika menggunakan motor agar suasana canggung tak terlalu terasa. Namun, sia-sia karena kecanggungan di antara mereka tak dapat dihindari.

Motor Rama berhenti ketika lampu merah menjeda perjalanan. Ia melirik Fika melalui kaca spion, dan mendapati perempuan itu tengah memandang ke arah lain. Jika diingat, ini kali pertama mereka berboncengan kembali setelah satu tahun berlalu. Motor yang sedang ditumpangi ini menjadi saksi bisu hubungan mereka sebelum berakhir. Yah, motor tetap sama, tetapi hubungan mereka tak lagi sama.

"Fika," panggil Rama tanpa mengalihkan mata dari kaca spion.

Fika menoleh, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kamu manggil, Ram?"

Tidak ada jawaban. Rama hanya terdiam menatap Fika dari kaca spion. Ia benar-benar merindukan momen berdua bersama Fika. Mulai dari mengantarnya kuliah, menjemputnya ketika akan jalan, bahkan menemaninya menyusun skripsi sampai sidang. Usia mereka memang terpaut dua tahun karena Fika merupakan kakak kelasnya saat sekolah dulu. Namun, kebersamaan mereka dimulai saat kembali dipertemukan di perkuliahan.

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang