26. Akua Botol dan Sepucuk Surat

1K 255 53
                                    

Sera stres. Benar-benar stres. Hampir hilang akal. Hampir dibuat gila oleh tugas akhir dan sidang keduanya yang sudah dijadwalkan minggu ini. Dibandingkan tenaga, semester akhir justru lebih banyak menguras pikiran, menyerang mental mahasiswa sampai ke akar. Tidak heran kenapa banyak mahasiswa yang tiba-tiba mempunyai penyakit migren di semester akhir ini. Ia sebenarnya ingin fokus pada salah satu di antara dua itu, tetapi dosen pembimbing keduanya begitu rewel, menagih revisian skripsi hampir setiap hari, yang mau tak mau membuatnya harus membagi pikiran untuk keduanya di waktu yang sama.

Pukul 22.55 ketika ponselnya bergetar panjang di atas buku Penelitian Kuantitatif karya Professor Sugiyono. Nama Rama terpatri di layar tengah memanggil. Sesaat dirinya bergeming, menekuri nama lelaki yang selama seminggu ini belum ditemuinya lagi, sebelum meraih benda pintar tersebut dan mengangkat panggilannya.

"Halo?"

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Tidak ada sahutan di sebrang sana.

"Rama?"

Masih tidak ada sahutan. Sera lantas menjauhkan ponselnya dari telinga, melihat layar untuk memastikan panggilan mereka masih tersambung.

"Halo, Rama?"

Sekali lagi, Sera bersuara, dan tetap tidak ada balasan. Ia mengernyit heran, nyaris bersuara lagi sebelum pintu kamarnya terbuka, dan menyembulkan kepala Adit di sela-sela bukaannya.

"Siapa?" Pertanyaan tersebut langsung diberikan Adit ketika melihat Sera sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon.

"Rama," jawab Sera. "Tapi gak ngomong-ngomong. Kepencet kali, ya?"

Adit terdiam sesaat. "Iya kali. Matiin aja. Aku mau ngomong sama kamu."

"Iya." Diputusnya panggilan Rama, lalu beralih pada Adit yang sudah berdiri tegak di ambang pintu. "Kenapa, Kak?"

"Kamu gak apa-apa ditinggal sendirian?" tanya Adit. "Enggak mau ikut dulu ke Jakarta, gitu?"

Sera mendengkus pelan. "Kak Adit, sidang kompre aku minggu ini. Mana bisa?"

"Besok kita pulang lagi."

Menolak, kepala Sera menggeleng. "Besok aku bimbingan."

"Izin dulu gak bisa?"

"Kak Adit gak tahu dospem keduaku gimana," dumel Sera. "Udah, berangkat aja. Aku biasa sendiri di sini."

Embusan napas menyerah dikeluarkan Adit. Tidak akan lagi mengajak Sera ikut mengantar Ayah dan Ibu besok pagi. "Aku boleh masuk, gak?"

"Masuk aja."

Begitu mendapat izin, Adit langsung melangkah masuk, duduk di sudut ranjang, menghadap punggung Sera yang sedang berkutat di meja belajar. Ia bergeming, menatap punggung yang dibalut piyama katun itu dalam diam. Setelah pengakuannya minggu lalu, Rama tidak pernah lagi terlihat mengantar Sera ke rumah. Apa ini pertanda hubungan mereka mulai renggang, atau hanya ingin membuktikan bahwa dia mengantar pulang Sera semata-mata karena kebetulan bertemu di kampus? Masa bodoh. Yang jelas, kebetulan malam ini sangat menguntungkan karena kedatangannya berhasil memutus panggilan Sera dengan Rama. Entah apa alasan lelaki itu menelepon malam-malam begini, tetapi rasanya tidak mungkin jika itu hanya ketidaksengajaan. Pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakannya.

"Ra."

"Hm?" sahut Sera tanpa menoleh.

"Aku mau ngasih tau kamu sesuatu."

"Apa?"

"Lihat sini, dong."

"Ih," decak Sera, sebelum menoleh pada Adit yang duduk di belakangnya. "Apa?"

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang