8. Mulai Penasaran

1.2K 266 9
                                    

Kaki Rama baru berpijak di lantai dasar ketika melihat Mama dan Sera masih asik berbincang di ruang tengah. Televisi yang menyala dibiarkan begitu saja seolah tengah menonton perbincangan dua wanita berbeda generasi tersebut. Mereka tampak akrab, padahal ini merupakan pertemuan pertama. Mungkin karena Mama tipe orang yang mudah bergaul dengan orang baru, apalagi dia tidak mempunyai anak perempuan, sehingga kehadiran Sera menjadi teman baru baginya.

"Pulang sekarang?" Pertanyaan Rama membuat perbincangan di antara mereka terhenti.

"Oh, iya." Sera langsung berdiri ketika mendapati Rama sudah bersiap dengan sebuah jaket di tangan. "Mama Rama, aku pulang dulu, ya."

"Iya, hati-hati, ya." Mama ikut berdiri.

Sera mengangguk. "Makasih buat hari ini. Maaf udah ngerepotin."

"Ah, enggak, kok. Enggak sama sekali. Sering-sering main ke sini, ya."

"Iya." Sera tersenyum, lalu mengulurkan tangan untuk menyalami Mama Rama. "Makasih sekali lagi."

"Iya, sama-sama." Mama Rama balas tersenyum sambil mengelus pundak Sera dengan tangan lain. "Ya, udah sana. Itu kasihan supirnya udah nunggu."

Sera sontak menoleh pada Rama yang masih setia menunggunya di tempat yang sama.

"Santai aja," tutur Rama seolah paham dengan isi kepala Sera saat menatapnya.

"Ini udah, kok. Pulang dulu, ya, Mama Rama." Sera kembali pamit pada si empunya rumah.

"Iya," angguk Mama Rama. "Jangan ngebut-ngebut, Ram."

Rama hanya mengangguk sambil memasang jaket di tubuhnya. "Ayo, Ra."

"Sok sana, hati-hati." Mama melambaikan tangan sebagai isyarat membiarkan mereka pergi. "Oh, iya jangan lupa kalo punya temen yang masih sendiri kenalin ke Rama, ya."

Sera tertawa kecil, lalu mengangguk. Itu salah satu topik yang telah mereka bicarakan tadi.

"Apaan?" decak Rama. "Jangan dengerin Mama, Ra."

"Dengerin, Ra. Mama Rama serius." Mama membalas tak mau kalah, dan meraih tangan Sera.

Menggeleng, Rama melepas tangan Sera dari genggaman Mama. "Jangan diturutin, Ra. Ibu-ibu emang suka gitu."

"Eh, harus inget pesan ibu!" peringat Mama.

"Itu mah ngaco pesannya," dengkus Rama. "Hayu, Ra. Kita pulang aja." Ia tanpa sadar menarik tangan Sera untuk pergi.

"Sebentar!" Mama Rama kembali menahan tangan Sera. "Ya, udah kalau enggak ada, Sera aja yang sama Rama," celetuknya membuat Sera dan Rama melotot bersamaan.

"Apa?"

"Ma!" seru Rama. "Aduh, makin ngaco. Hayu, Ra." Ia meraih kedua bahu Sera, lalu menuntunnya untuk menjauhi Mama. "Jangan didengerin, Ra. Jangan didengerin." Terus berbisik sampai keluar dari rumah.

***

Mobil Rama berhenti di depan sebuah rumah tingkat tiga yang tampak sepi jika dilihat dari luar. Kepalanya sedikit melongok ke kaca jendela untuk melihat lebih jelas. "Ini rumah lo?" tanyanya.

"Iya," Sera ikut memandang rumahnya sendiri. "Kenapa? Serem, ya?"

Rama menoleh pada Sera. "Orang tua lo kerja?"

"Mereka dinas di Jakarta, jadi jarang pulang. Sebulan sekali juga enggak," papar Sera tanpa sadar.

"Ooh. Sibuk, ya?"

"Banget. Presiden aja kalah sibuk sama orang tua gue kali," celetuk Sera. Namun, ia meringis pelan ketika sadar akan sesuatu. "Errr, maaf curhat."

Rama tertawa pelan. "Santai."

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang