19. Belum Usai

1.1K 248 69
                                    

Penyesalan memang selalu datang terakhir. Harusnya Rama sadar diri bahwa toleransinya terhadap alkohol sangat rendah. Ibarat permainan mungkin dirinya berada di level noob. Bukan berarti tidak pernah mencicipi minuman haram itu, hanya saja tubuhnya kurang bisa menerima dalam kadar banyak. Dan kemarin malam, entah berapa banyak minuman yang ditelannya. Ia bahkan tidak ingat memesan jenis minuman apa dengan kadar alkohol berapa persen. Yang ia ingat otaknya hanya bisa memerintah tanpa berpikir panjang, lalu sekarang menyesal.

Beberapa saat lalu, Rama sudah menghubungi Tariq, bertanya bagaimana caranya menghilangkan pengar dan mual setelah minum. Lelaki sialan itu malah tertawa, mencemoohnya yang sok-sok-an minum, padahal sekali teguk langsung tumbang.

"Tidurin aja."

Hanya itu nasihat dari Tariq, si anak kelab malam yang sudah sering mencicipi berbagai jenis minuman keras. Toleransi Tariq terhadap alkohol tentu lebih tinggi. Dia bahkan tak tumbang meski sudah menghabiskan dua botol. Jika pun mabuk, cukup diredakan dengan tidur seharian, maka esoknya akan hilang. Hebat? Iya, tetapi sayangnya hanya itu kehebatan Tariq. Sisanya 404 not found alias tidak ada.

Rama menuruti nasihat Tariq. Ia langsung tidur setelah berusaha keras mengusir bayang-bayang Sera dalam kepala. Namun, saat kembali bangun pada siang hari, rasa mual dan pengar malah semakin menjadi. Benar-benar menyiksa. Lebih menyiksa lagi saat Rafa memberitahunya mereka harus pergi ke rumah Papa untuk makan siang.

Tak ada obrolan yang terjadi di dalam mobil. Hanya keheningan yang terjadi meskipun sudah setengah perjalanan. Rafa tak berbicara, begitu juga dengan Fika yang sejak tadi membuang muka ke jendela di samping kanan, apalagi Rama yang hanya diam karena sibuk mengatasi rasa pengar dan mualnya sendiri. Ia duduk di depan, bersandar lesu di kursi mobil dengan satu tangan menyangga kepala, dan tangan lain memegangi perutnya.

"Ram," panggilan Rafa memecah keheningan. "Lo semalem ke mana?"

Meski dengar, tetapi Rama tak menjawab.

"Lo sakit?"

Rama bergumam panjang.

"Kenapa?" tanya Rafa lagi.

"Gak enak badan," jawab Rama malas.

"Udah minum obat?" Rafa terus bertanya.

"Dah."

"Yaudah."

Ini aneh. Rafa tak biasanya menanyakan hal sepele itu kepada Rama.

"Gue gak mau pulang dari sini lo sakit terus bikin Mama khawatir," ujar Rafa seolah menjawab keheranan Rama. "Jaga kesehatan lo."

"Hmm." Lagi, hanya itu sahutan Rama.

Hening sebentar.

"Bukan karena ada sesuatu, 'kan?" todong Rafa tiba-tiba. "Lo gak ikut makan malam bukan karena sengaja ngehindar, 'kan?"

Pertanyaan itu membuat Rama tertegun selama beberapa saat. Ia menelan saliva, lalu berdeham pelan. "Bukan."

Rafa mengangguk. Sayangnya, reaksi Rama tak bisa dilihat dari belakang. Namun, reaksi Fika di sampingnya tentu tertangkap ekor mata. Jelas sekali. Kedua tangan perempuan itu yang tadinya terbuka di atas pangkuan tiba-tiba saling menggenggam tepat ketika dirinya melontarkan pertanyaan.

Sebenarnya, bukan hal aneh melihat Rama dan Fika tak pernah bertegur sapa. Hanya saja, sikap mereka kali ini sedikit berbeda. Bukan asing yang seperti biasanya, tetapi lebih dari itu. Sejak makan malam kemarin, Fika lebih banyak diam, sementara Rama tiba-tiba menghilang tanpa alasan. Dan siang ini, ketegangan seolah menyelimuti hubungan mereka. Melihat keanehan itu membuatnya yakin jika ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.

Serama (Ayo, Move On!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang