[Name] merasakan kesunyian di hari itu. Bukan karena ia sedang menginjakkan kaki di sebuah rumah rumah kecil yang sudah lama tidak berpenghuni. Bukan pula karena tetangga hidup cukup jauh dari tiap-tiap rumah. Tetapi terdapat sesuatu di dalam hati, yang terasa begitu sepi saat melihat antusias Selina. Sebab dulu, ia terbiasa melihat anaknya dengan pria itu bermain bersama. Lalu kini bocah itu hanya berlarian mengintari halaman sendirian.
Hampa.
Walau memang beginilah keadaan yang seharusnya terjadi sekarang ini. Hanya ia, Selina, dan rumah tua khas pedesaan.
Hampir dua minggu sudah mereka berpisah, dan [Name] masih berusaha untuk beradaptasi dengan keadaan juga status baru.
"Selina, jangan lari-lari," peringat [Name].
Bocah itu sedang asik berusaha untuk menangkap kupu-kupu yang terbang di sana. Senyum ceria terus terlukis di wajah, tanpa tahu dan mengerti apa yang sebenarnya terjadi terhadap keluarganya.
Selina hanyalah salah satu dari sekian banyak anak di dunia yang harus merasakan perpecahan keluarga di usia muda. Sungguh, bocah kecil yang malang.
"Mama, coba lihat ini!" Selina mengacungkan kupu-kupu kecil yang berhasil ia tangkap.
"Bagus," ujar [Name] sambil tersenyum. "Jangan lupa dilepaskan lagi dan cuci tangan setelah bermain, ya?"
"Kenapa harus dilepas? Selina ingin memeliharanya. Bisa dimasukkan ke dalam toples."
"Jangan, Sayang. Nanti mati. Dia juga ingin hidup bebas."
Selina kembali menatap kupu-kupu di tangannya. Walau sempat cemberut selama beberapa waktu, pada akhirnya ia melepaskan hewan itu. Membiarkannya terbang tinggi sejauh mungkin.
[Name] menutup kedua mata, menghirup udara hingga paru-paru penuh dan menghembuskannya perlahan. Udara yang sangat segar merupakan salah satu alasan ia memilih tinggal di sana. Walau jauh dari kemerlap juga gedung pencakar langit, tetapi dia menyukai rumah ini. Benar-benar cocok untuknya. [Name] merasa seperti kembali lagi sebelum ia memutuskan merantau ke luar kota, lalu bertemu pria itu di sana.
Ketika matanya terbuka, ia cukup terkejut dengan getaran ponsel di saku celana. Bukan panggilan telepon, hanya sebuah pesan singkat.
From: Papa Selina
"Kau sibuk?"
[Name] membalasnya dengan wajah santai. Mengetikkan kalimat 'tidak' saat udara semakin menghangat sebab mentari sudah mencapai titik tertinggi.
Balasan datang kurang dari semenit.
From: Papa Selina
"Boleh kutelepon? Aku rindu putriku."
Singkat. Sangat. Khas pria itu yang tidak senang berbasa-basi.
Diliriknya Selina. Bocah itu sedang berjongkok di depan kubangan air sambil menatap pantulan dirinya sendiri.
To: Papa Selina
"Tentu."
Ponsel kembali bergetar tepat setelah [Name] berhasil mengirimkan pesan. Wanita itu langsung memanggil putrinya, "Selina, lihat siapa yang meneleponmu."
Selina menoleh, tampak berpikir sebentar sebelum ia bertanya, "Papa?"
[Name] mengangguk sambil tersenyum.
Si Bocah Kecil langsung berlari menghampiri Mamanya. Ponsel di tangan [Name] ia ambil dan menjawab telepon itu. "Halo? Papa?"
[Name] meraih tubuh Selina dan memangkunya. Mata mengamati dalam diam, dengan senyuman tipis juga tatapan lelah. Ia ulurkan sebelah tangannya untuk mengusap sayang rambut Selina yang kian panjang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Before Dawn
FanfictionHanya sepenggal kisah kasih berhati dewasa yang tahu kapan harus berhenti mencinta. Bumi yang dipijaknya tak membiarkan kedua insan mempertahankan yang seharusnya dipertahankan. Sebab saat itu dunia memberi mereka tiga pelajaran hidup; ketika harus...